21/04/12

Hubungan PR dengan Ilmu Komunikasi

Public relations (PR) senantiasa berkenaan dengan kegiatan penciptaan pemahaman melalui pengetahuan, dan melalui kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan akan muncul suatu dampak, yakni berupa perubahan yang positif. Dengan demikian, kunci sukses PR adalah melalui komunikasi. Artinya, keberhasilan PR untuk mencapai tujuannya bergantung kepada sejauh mana PR itu dapat menjalin hubungan dengan masyarakatnya, baik khalayak internal maupun eksternal.

Publik PR dalam suatu organisasi/perusahaan yang terdiri dari publik internal dan eksternal, mempunyai karakteristik yang berbeda. Artinya, seorang PR profesional harus mempunyai keahlian komunikasi dalam menghadapi publik yang berbeda. 
Misalnya, perusahaan asuransi mempunyai publik internal (dalam hal ini karyawan) dan eksternal yang berbeda dengan organisasi lembaga swadaya masyarakat (LSM) lingkungan hidup. Karakteristik, termasuk latar belakang pendidikan, sosial, dan budaya publik internal perusahaan asuransi berbeda dengan LSM lingkungan hidup. Kualifikasi masing-masing karyawan yang dibutuhkan pada kedua organisasi tersebut pun tidak sama. Begitu pula dengan publik eksternal, katakanlah media. Perusahaan asuransi mempunyai hubungan dengan media yang berbeda dengan LSM lingkunganhidup. Kalaupun medianya sama, maka (coba perhatikan dan kritisi) redaksi yang dituju berbeda. Bisa jadi, perusahaan asuransi menghubungi redaksi Bisnis dan Keuangan, sementara LSM lingkungan hidup—pada surat kabar nasional yang sama—menghubungi redaksi Lingkungan atau redaksi Humaniora.
Informasi yang dibutuhkan oleh masing-masing publik pun berbeda. Jika, informasi yang dibutuhkan oleh karyawan berkaitan dengan kesejahteraan, kebijakan organisasi, dan pertumbuhan organisasi. Maka, informasi yang dibutuhkan oleh media adalah informasi organisasi yang mempunyai news value dan sesuai dengan kebijakan media.
Untuk itu, PR senantiasa mengemban misi untuk memberikan pelayanan informasi kepada publiknya tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kebijakan, kegiatan dan tindakan organisasi/perusahaan. Pelayanan informasi tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui komunikasi.
Melalui komunikasi pula, PR dapat menyampaikan informasi, mendorong/-memotivasi, mempersuasi, mempengaruhi, dan merubah sikap khalayak/publik.
Tugas PR adalah untuk membina hubungan baik, saling pengertian, saling membutuhkan, dan saling mendukung antara organisasi di satu pihak dengan publiknya di lain pihak.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Rachmadi (1992: 6-7), bahwa ciri hakiki dari komunikasi dalam PR adalah komunikasi yang bersifat timbal-balik (two-way traffic). Komunikasi yang bersifat timbal-balik ini sangat penting dan mutlak harus ada dalam kegiatan PR, dan terciptanya feedback merupakan prinsip pokok dalam PR.
Maka, dapat disimpulkan bahwa kunci sukses suatu komunikasi sangat tergantung pada prinsip pelaksanaan komunikasi yang efektif. Dalam kaitan dengan prinsip komunikasi yang efektif, hal-hal yang diperhatikan adalah (Rachmadi, 1992: 7):
1.     jenis publik (khalayak) yang menjadi sasaran;
2.     susunan pesan bagaimana yang paling tepat dan mudah dipahami;
3.     saluran apa yang paling sesuai dengan sifat publik yang dituju.

Definisi Public Relations


Public relations (PR) yang diterjemahkan bebas menjadi hubungan masyarakat (Humas), terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara antara organisasi yang bersangkutan dengan siapa saja yang berkepentingan dengannya (Anggoro, 2001: 1).

PR merupakan suatu seni dan ilmu pengetahuan yang menerapkan program-program PR secara terencana dan berkesinambungan. PR suatu organisasi atau perusahaan berupaya melakukan hubungan yang baik dengan publik dan menjaga citra organisasi atau perusahaan. Di dalam melaksanakan programnya, PR melakukan komunikasi yang persuasif dan efektif melalui media yang tepat.

Ada ratusan definisi PR ditulis orang dalam upaya mereka mendapatkan intisari hubungan masyarakat, dengan cara membuat daftar aktivitas utama yang membentuk praktek ini. Dr. Rex F. Harlow, ilmuwan dan tokoh profesional PR kawakan yang mengumpulkan definisi yang ditulis sejak awal 1900-an dan 1976, mengidentifikasi unsur-unsur utama dari setiap definisi, dan mengklasifikasi gagasan utamanya. Ia berkata bahwa ia akan berupaya untuk mengatakan apa itu PR, dan bukan apa yang dilakukan PR. Tetapi setelah menganalisis 472 definisi, ia membuat satu definisi yang mencakup aspek konseptual dan operasionalnya, yaitu:


PR is a distinctive management function which helps establish and maintain mutual lines of communication, understanding, acceptance and co-operation between an organisation and its publics; involves the management of problems or issues; helps management to keep informed on and responsive to public opinion; defines and emphasises the responsibility of management to serve the public interest; helps management keep abreast of and effectively utilise change, serving as an early warning system to help anticipate trends; and uses research and ethical communication techniques as its principal tools. (Theaker, 2001: 3).


Kata kunci dari definisi ini adalah management function, dimana PR membantu manajemen dalam proses komunikasi antara perusahaan dengan publiknya. PR juga harus dapat menjalin hubungan yang baik dengan publik perusahaan, sehingga terdapat saling pengertian antara perusahaan dengan publiknya.
Untuk lebih memahami PR, berikut beberapa definisi PR yang diambil dari beberapa literatur.

Pada pertemuan asosiasi-asosiasi PR seluruh dunia (World Assembly of PR Associations) di Mexico City, Agustus 1978, ditetapkan definisi PR sebagai berikut:


“Public relations is the art and social science of analysing trends, predicting their consequences, counselling organisation leaders and implementing planned programmes of action which serve both the organisation’s and the public interest” (Theaker, 2001: 4).

Theaker menekankankan bahwa: the words ‘art’ and ‘social science’ are helpful in explaining the continuing tension between understanding PR as measurable, science-based application of communication tools, and the affection of many practitioners for the looser, more creative, aspects of the work.

PR dikatakan seni karena PR menggunakan teknik dan media komunikasi yang berbeda kepada setiap publik perusahaan. Kemampuan dan keahlian berkomunikasi harus dimiliki PR dengan mempelajari ilmu komunikasi. Tanpa ilmu, PR sulit menjalankan tugasnya. Begitu pula, jika hanya mengandalkan ‘intuisi’ dan ‘pengalaman’, PR bekerja hanya pada tahap teknis tanpa memahami filosofi dan aspek dasar dari fungsi dan tugas PR.

Pada November 1982, Public Relations Society of America (PRSA) secara formal mengadopsi “Pernyataan Resmi tentang PR”. Sebagai fungsi manajemen, PR mencakup hal-hal berikut ini:

  1. Anticipating, analyzing and interpreting public opinion, attitudes and issues that might impact, for good or ill, the operations and plans of the organization. 
  2. Counseling management at all levels in the organization with regard to policy decisions, courses of action and communication, taking into account their public ramifications and the organization’s social or citizenship responsibilities. 
  3. Researching, conducting and evaluating, on a continuing basis, programs of action and communication to achieve the informed public understanding necessary to the success of an organization’s aims. These may include marketing, financial, fund raising, employee, community or government relations and other programs.
  4. Planning and implementing the organization’s efforts to influence or change public policy. 
  5. Setting objectives, planning, budgeting, recruiting and training staff, developing facilities — in short, managing the resources needed to perform all of the above. 
  6. Examples of the knowledge that may be required in the professional practice of public relations include communication arts, psychology, social psychology, sociology, political science, economics and the principles of management and ethics. Technical knowledge and skills are required for opinion research, public-issues analysis, media relations, direct mail, institutional advertising, publications, film/video productions, special events, speeches and presentations.

  1. Mengantisipasi, menganalisa, dan menerjemahkan pendapat publik, sikap, dan masalah yang mungkin berdampak baik ataupun buruk terhadap jalan serta rencana organisasi.
  2. Memberi anjuran kepada manajemen pada semua jenjang di dalam organisasi, dengan memperhatikan keputusan kebijaksanaan, rangkaian tindakan, dan komunikasi, dengan memperhitungkan percabangan masyarakatnya dan tanggung jawab sosial, atau tanggung jawab kewarganegaraan.
  3. Meneliti, melaksanakan, dan mengevaluasi program tindakan dan komunikasi secara berkelanjutan, agar masyarakat yang diberi informasi memperoleh pemahaman, sehingga tujuan organisasi tercapai. Program-program itu dapat mencakup pemasaran, keuangan, pengumpulan dana, hubungan dengan karyawan atau pemerintah, dan lainnya.
  4. Membuat rencana dan menerapkan upaya organisasi untuk mempengaruhi atau mengubah kebijakan umum.
  5. Menentukan sasaran, membuat rencana, membuat anggaran, menyaring dan melatih staf, mengembangkan fasilitas. Singkatnya, mengelola sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan semua yang disebutkan di atas.
  6. Contoh pengetahuan yang diperlukan dalam praktek profesional PR mencakup seni komunikasi, psikologi, psikologi sosial, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi, dan prinsip-prinsip serta etika manajemen. Pengetahuan serta keterampilan teknis diperlukan untuk penelitian pendapat, analisis masalah masyarakat, hubungan media, direct mail, iklan kelembagaan, penerbitan, pembuatan film/video, peristiwa-peristiwa khusus, pidato, dan presentasi (Cutlip, Center & Broom, 2005: 5).


PR adalah fungsi manajemen, bukan sekedar pekerjaan teknis.
Pernyataan ini didukung oleh definisi dari PRSA, bahwa PR harus dapat menerjemahkan pendapat publik, mengevaluasi program komunikasi, serta mempengaruhi dan mengubah kebijakan umum. Fungsi-fungsi manajemen ini membutuhkan pengetahuan dan wawasan yang luas, serta kemampuan berpikir dan analisa yang baik.

Menurut definisi kamus terbitan Institute of Public Relations (IPR), yakni sebuah lembaga PR terkemuka di Inggris dan Eropa yang berdiri sejak 1948, terbitan bulan November 1987, bahwa: “Public relations is the planned and sustained effort to establish and maintain goodwill and understanding between an organisation and its publics” (Theaker, 2001: 4).

Theaker menjelaskan lebih lanjut bahwa: there are several key words noting here: ‘planned’ and ‘sustained’ suggest these relationships are not automatic or effortless. Indeed, they have to be ‘established’ and ‘maintained’. Public relations work exists in time—it is not a series of unrelated events. Also note that the aim is not popularity or approval, but goodwill and understanding. Many think that PR is just about promoting an organisation, whereas most PR work involves ensuring publics have an accurate view of the organisation, even if they don’t it might hope to be respected, or at least understood.


The definition also raises that strange word ‘publics’, which will be discussed more fully elsewhere. It is important, however, to stress that public relations is not about dealing with ‘the public’ as people often think. In PR we say there is no such thing as the public—there are instead many different groups of people—not just consumers, but suppliers, employees, trustees, members, local and national trade and political bodies, local resident, among many others. One of the key concepts of PR is the idea that these groups—or publics—have different information needs and exert different demands on organisations. Understanding these differences is a vital skill of PR.

Menurut Frank Jefkins (2004: 10): “PR adalah semua bentuk komunikasi yang terencana, baik itu ke dalam maupun ke luar, antara suatu organisasi dengan semua khalayaknya dalam rangka mencapai tujuan-tujuan spesifik yang berlandaskan pada saling pengertian”.

Analisis definisi Jefkins, yaitu: (a) bagian pertama dari definisi ini sama seperti yang telah diutarakan oleh IPR. Hanya saja unsur tujuannya lebih diperinci, yaitu tidak hanya terbatas pada saling pengertian saja, melainkan juga berbagai macam tujuan khusus lainnya yang sedikit banyak berkaitan dengan saling pengertian itu. Tujuan-tujuan khusus itu meliputi penanggulangan masalah-masalah komunikasi yang memerlukan suatu perubahan tertentu, misalnya mengubah sikap yang negatif menjadi positif. (b) PR menggunakan metode manajemen berdasarkan tujuan (management by objectives). Dalam mengejar suatu tujuan, semua hasil atau tingkat kemajuan yang telah dicapai harus bisa diukur secara jelas, mengingat PR merupakan kegiatan yang nyata. Kenyataan ini dengan tegas menyangkal anggapan keliru yang mengatakan bahwa PR merupakan kegiatan yang abstrak.

Dapat disimpulkan, bahwa PR dapat membantu organisasi atau perusahaan untuk melayani kebutuhan beragam masyarakat. Praktisi PR dapat bertindak sebagai penasihat manajemen, dan sebagai mediator untuk menerjemahkan tujuan dan kebijakan organisasi atau perusahaan agar dapat diterima masyarakat.

http://www.prsa.org/AboutPRSA/PublicRelationsDefined

17/04/12

Pelopor dan Tokoh PR di Dunia


Ivy Ledbetter Lee, lulusan dari Princeton, adalah wartawan yang meliput dunia bisnis. Setelah lima tahun menjadi wartawan, pada tahun 1903 Lee berhenti dari pekerjaannya yang bergaji kecil di World untuk bekerja pada kampanye Seth Low menjadi walikota New York. Pekerjaan itu menuntunnya bekerja sama dengan George F. Parker di bidang biro pers bagi Komite Nasional Demokrat selama kampanye Presiden 1904 (Cutlip, Center & Broom, 2005: 96).

Lee dan Parker sempat membentuk kemitraan the Parker and Lee, yang ditutup pada tahun 1908, karena Ivy Lee menjadi agen publisitas pertama bagi Jawatan Kereta Api Pensylvania.
Lee, sewaktu dipekerjakan George F. Bear pada kasus pemogokan batubara anthracide (yang sulit panas) tahun 1906, menerbitkan "Deklarasi Prinsip-prinsip" yang dikatakan oleh Eric Golfman bahwa deklarasi ini "menandai kemunculan kehumasan tahap kedua. Publik tidak lagi diabaikan pada cara bisnis tradisional, tidak pula dibodohi pada cara agen pers yang tetap berlangsung hingga sekarang."

Deklarasi Lee lalu dikirimkan melalui pos ke seluruh editor kota, yang bunyinya sebagai berikut:
”Ini bukan biro pers rahasia. Seluruh pekerjaan kami dilakukan dalam suasana keterbukaan. Tujuan kami memasok berita. Ini bukan agen periklanan; jika anda pikir jenis tulisan ini harus secara tepat masuk ke kantor anda, jangan gunakan tulisan itu. Tulisan kami akurat. Rincian lebih lanjut atas pokok bahasan apa saja yang dibahas akan disediakan dengan segera, dan editor siapa saja akan dibantu dengan sangat gembira, guna memverifikasi secara langsung pernyataan fakta apa saja ... Ringkas kata, secara sopan dan terbuka, atas nama permasalahan dunia bisnis dan lembaga publik, rencana kami adalah memasok ke pers dan publik Amerika Serikat informasi yang cepat dan akurat mengenai pokok masalah yang dianggap bernilai dan menarik perhatian publik untuk mengetahuinya.”

Meskipun para wartawan diijinkan meliput pemogokan tersebut, Lee memberikan laporan baru setelah dilakukan rapat pemogokan. Lee adalah salah seorang yang pertama menggunakan sistem handout (sekarang dinamakan press release atau news release) dalam skala besar.
Selama periode ini, Lee menggunakan istilah "publisitas" untuk menggambarkan apa yang sekarang dinamakan hubungan masyarakat atau PR; konsep itu dan kesuksesan Lee tumbuh cepat. Pada December 1914, berdasarkan saran Arthur Brisbane, Lee dipilih sebagai penasihat pribadi John D. Rockefeller Jr. Kelompok Rockefellers sedang diserang keras karena kegiatan tetap-bekerja pada saat terjadi pemogokan pada Colorado Fuel dan Iron Company milik mereka. Lee melayani Rockefeller hingga kematiannya pada 1934.

Ivy Lee melakukan banyak pekerjaaan yang menjadi pekerjaan dasar praktek kontemporer. Meskipun dia tidak menggunakan istilah PR hingga setidaknya 1919, Lee menyumbangkan banyak teknik dan prinsip yang diikuti oleh para praktisi sekarang.

Lee mendorong pertumbuhan departemen publisitas dan melatih penasihat publisitas di banyak lembaga. Selama 31 tahun dia berkecimpung di bidang kehumasan. Lee mengubah lingkup atas bidang yang dikerjakannnya dari "keagenan murni" ke menjadi "pemikir yang dipercaya untuk diajak bekerja sama oleh dunia bisnis."

Rekor Lee, meskipun sangat besar, tidak bebas dari kritik. Sewaktu dia meninggal, dia diberhentikan dari pekerjaan sebagai perwakilan the German Dye Trust, yang dikendalikan oleh I. G. Farben. Lee menjadi penasihat kartel itu setelah Adolf Hitler berkuasa di Jerman dan Nazi mengambil alih kendali. Lee dibayar fee tahunan $25.000 dan ganti atas pengeluaran (jumlah yang besar pada saat itu) oleh perusahaan Farben dari ketika dia pensiun pada 1933 hingga perusahaannya menghentikan pelanggan itu segera setelah kematiannya pada 1934.


Rex F. Harlow, adalah orang yang berpengalaman dan mengetahui perlunya jasa publisitas di bagian lain AS. Rex F. Harlow memulai karirnya pada 1912 di Oklahoma City ketika dia dipekerjakan oleh kakak laki-lakinya untuk mempromosikan Harlow's Weekly. Pada 1980-an Harlow menjalani dan membantu membentuk praktek kehumasan sekarang ini. Sewaktu mengajar di Universitas Stanford pada 1939, dia mulai mengajar mata kuliah kehumasan dan mendirikan the American Council on Public Relations (ACPR).

Pada 1945 dia membuat majalah bulanan "Public Relations Journal", yang diterbitkan hingga 1995 oleh the Public Relations Society of America (PRSA). Organisasi ini dibentuk pada 1948 sewaktu ACPR milik Harlow merger dengan the National Association of Public Relations Council. Harlow meninggal 16 April 1993, pada usia 100 tahun.

Praktik kontemporer kehumasan pertama kali muncul sebagai tindakan defensif, tetapi Perang Dunia I memberinya suntikan ofensif. Presiden Woodrow Wilson, yang sangat sadar akan pentingnya opini publik, membentuk the Commite on Public Information (CPI) - sering disebut sebagai the Creel Commitee. The CPI harus memobilisasi opini publik dalam rangka mendukung upaya perang dan sasaran damai Wilson di negeri yang opininya cukup terpecah-pecah ketika perang diumumkan. George Creel dipilih sebagai pemimpinnya.

George Creel beserta CPI memperlihatkan yang belum pernah diperlihatkan sebelumnya mengenai kekuatan publisitas untuk memobilisasi pendapat. Creel tidak memiliki manual kampanye yang dapat dia jadikan pedoman. Dia berimprovisasi ketika dia melakukan tugas itu. Contohnya, dia tidak memiliki radio atau televisi nasional untuk menjangkau AS secara cepat, karenanya dia menciptakan the Four Minuteman, jaringan relawan yang meliput sejumlah 3.000 counties (kabupaten) di AS. Para relawan itu, yang disiagakan via telegram dari Washington, akan berpencar dalam rangka berbicara dengan sekolah, gereja, klub jasa, dan perjumpaan massa lainnya. Menjelang akhir perang mendekati 800.000 pesan empat menit itu telah dikirimkan ke sebanyak 400.000 orang. Upaya CPI yang dikepalai oleh Creel dan Carl Byoir ditulis riwayatnya secara urut pada karya Creel How We Advertised America dan karya Mock dan Larson, "Words That Won the War".

Creel menggabung-gabungkan dengan brilian dan terampil kelompok wartawan, cendekiawan, agen atau orang pers, editor, artis, dan juru manipulasi simbol opini publik lainnya menjadi Amerika bersatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya dalam rangka mencapai sasaran tunggal. Lingkup yang menakjubkan atas keagenan besar beserta kegiatannya tidak akan tertandingi hingga kemunculan diktator totaliter setelah perang itu. Creel, Byoir, dan para mitra kerja mereka merupakan penasihat kehumasan bagi pemerintah AS, yang lebih dahulu menyampaikan ke penduduk negeri itu dan kemudian ke orang di tempat yang jauh mengenai gagasan yang memberikan kekuatan motivasi atas keadaan perang yang dilaksanakan 1917-1918.
Carl Byoir.

The Creel Commite melatih banyak praktisi yang memanfaatkan pengalaman mereka sewaktu perang dan membuat mereka mampu memanfaatkan panggilan kerja yang menguntungkan. Di antara mereka adalah Carl Byoir dan Edward L. Bernays. Byoir, yang pada usia 28 telah menjadi mitra kerja yang memimpin the CPI, setelah perjalanan satu dasawarsa ke bentuk-bentuk usaha lain yang didirikan pada 1930 yang kemudian menjadi salah satu perusahaan kehumasan terbesar di AS hingga perusahaan itu diakuisisi oleh keagenan periklanan the Foote, Cone, & Belding pada 1978. Bernays, yang memiliki peran kecil di the CPI, mulai 1920-an menjadi salah satu orang yang mendefinisikan bidang profesi kehumasan dan penganjur kehumasan yang tidak mengenal lelah.

Edward L. Bernays dan Doris E. Fleischman. Salah satu pesaing Ivy Lee dalam mendapatkan pengaruh dan bisnis pada era 1920-an adalah Edward L. Bernays. Sebelum Perang Dunia I, Bernays pernah bekerja sebagai agen pers. Semasa bekerja untuk Creel Committee selama perang, pikirannya selalu sarat dengan mimpi tentang kemungkinan mendapatkan pekerjaan tetap dari apa yang disebutnya sebagai "rekayasa persetujuan publik.” Bemays dianggap berjasa dalam menemukan istilah "public relations counsel" dalam "Crystalizing Public Opinion", buku pertama tentang PR pada 1923.

Ia merintis lebih banyak bidang baru ketika memberi kuliah PR pertama di New York University. Bernays melanjutkan perannya sebagai pengarang, dosen, advokat, dan kritikus hingga memasuki dekade 1990-an. Majalah Life mencanturnkan Bernays dalam edisi khusus 1990, "The 100 Most Important Americans of the 20th Century." Ia meninggal dunia pada 9 Maret 1995 pada usia 103 tahun.

Bernays menikah dengan Doris E. Fleischman pada 1922. Mereka bersama-sama mengelola firma Edward L. Bernays, Counsel on Public Relations, hingga resmi pensiun dari praktek aktif pada 1962. Sang isteri meninggal pada 1980. Mereka memberi konsultasi bagi perusahaan-perusahaan besar, badan pemerintahan, dan Presiden AS mulai dari Calvin Coolidge hingga Dwight Eisenhower, dengan Bernays sebagai bintang dalam sebagian besar tugas. Meski dipandang sebagai mitra sejajar Bernays dalam perusahaan, dengan menciptakan jurnal hubungan masyarakat pertama dan bekerja sama dengan Bernays dalam mengembangkan istilah public relations counsel, Fleischman berjuang untuk persamaan profesional karena ia seorang wanita. Sebagai contoh, dalam salah satu dari dua bukunya ia menulis:

"Banyak pria tidak suka bila wanita mengatakan apa saja yang harus mereka lakukan dalam bisnis. Mereka juga tidak suka manakala sesama pria yang mengatakannya, tetapi nasihat dari wanita dianggap merendahkan. Saya belajar untuk menarik diri dari suatu situasi jika jenis kelamin konsultan hubungan masyarakat dipermasalahkan, atau jika usulan harus dipisahkan dari masalah jenis kelamin. Jika pertimbangan utama gagasan dikaitkan dengan jenis kelamin saya, mungkin gagasan itu tidak akan pernah dinilai demi gagasan itu sendiri."


Fleischman merupakan feminis muda yang setelah menikah dengan Bernays tetap memakai nama belakangnya sendiri jauh sebelum hal ini dapat diterima masyarakat. Selama tiga dekade Fleischman mendaftarkan diri di hotel, dan dua kali di rumah sakit bersalin, sebagai "Nona Doris E. Fleischman," dan pada 1925 ia menerima paspor AS untuk wanita menikah dengan nama belakangnya sendiri. Nama itulah yang dipakainya dalam buku 1928 yang disuntingnya untuk karier bagi wanita, juga di artikel tujuh majalah dan bab-bab buku yang diterbitkannya antara 1930 dan 1940.

Buku Bernays terbit menyusul "Public Opinion" karya Walter Lippman yang terbit pada 1922, sebagai buku yang mencerminkan peningkatan perhatian terhadap kekuatan dan hakikat opini masyarakat. Pada tahun-tahun sebelum 1917, hanya ada 18 buku tentang opini masyarakat dan publisitas yang diterbitkan. Setidaknya ada 28 judul yang muncul antara 1917 dan 1925.

Perhatian para cendekiawan juga bermuasal dari periode ini. Ilmuwan sosial mulai mengeksplorasi hakikat opini masyarakat dan peran komunikasi massa dalam pembentukannya. Walaupun metode pengukuran opini belum muncul sebelum era 1930-an, karya pasca perang ilmuwan sosial banyak berperan dalam perkembangan riset pasar, jajak pendapat opini masyarakat, dan ilmu komunikasi.

John W. Hill. Meski terjadi ledakan ekonomi dan pertumbuhan media yang pesat, hanya ada enam firma PR dalam daftar pelanggan telepon Manhattan pada 1926. Pada 1927, John W. Hill, jurnalis dari Cleveland, membuka firma di kota itu. Pada 1933, ia membentuk kemitraan dengan Don Knowlton, dan tidak lama setelah itu ia pindah ke New York untuk mendirikan Hill and Knowlton, Inc. Knowlton tetap mengelola kantor di Cleveland. Kedua firma yang hanya dihubungkan oleh kepemilikan yang tumpang tindih itu beroperasi secara independen hingga 1964, ketika Knowlton pensiun dan perusahaan di Cleveland dijual kepada perusahaan penerusnya. Hill meninggal dunia pada 1977.

Pada 1980, JWT Group, perusahaan induk pemilik biro iklan J. Walter Thompson Company, mengakuisisi Hill and Knowlton sebesar US$28 juta. Kelompok usaha JWT diambil alih oleh konglomerat Inggris WPP Group, London, pada 1989.

Hill lama dipandang sebagai perintis konsultan PR yang etis dan dihormati. Peran Hill dalam membantu perusahaan-perusahaan tembakau besar dari Komite Riset Industri Tembakau (FIRC) mengancam legalitasnya. Atas rekomendasi Hill, para presiden perusahaan tembakau besar sepakat untuk mendanai TIRC, sementara Hill memperjuangkan perang tembakau mewakili industri rokok hingga ia pensiun dari Hill & Knowlton pada 1962. Selama kehidupan profesionalnya Hill menyadari dirinya sebagai manusia yang memiliki integritas dan prinsip dengan komitmen terhadap tulisannya,

Kalau perusahaan klien yang ada mengadopsi kebijakan yang diyakini konsultan bukan merupakan kepentingan masyarakat, ia akan menasihati mereka untuk menentangnya. Jika integritas ada di tangannya, bersiaplah untuk kehilangan account apabila klien bersikap bertahan. Ketika ditanya langsung tentang perannya dalam pembentukan TIRC dan dalam PR tembakau, pada 1966 Hill menanggapi, "Saya menolak untuk mengomentari masalah ini mengingat account ini bersifat aktif dan sangat sensitif," dan tidak menutupi account tembakau Hill & Knowlton dalam riwayat hidupnya pada 1963, "The Making of Public Relations Man". Tetapi lama setelah Hill meninggal dunia, ada sedikit keraguan akan perannya dalam menciptakan garis depan PR bagi industri tembakau.

Meskipun John Hill sudah memenangkan pertarungan yang sangat duniawi itu, nyatanya ia memang merupakan kekuatan yang menuntun pembentukan Komite Riset Industri Tembakau yang kemudian menjadi Institut Tembakau. Dengan demikian Hill harus bertanggung jawab atas "rencana yang disusun dan dijalankan dengan brilian" yang dengan menggunakan biaya berjuta kesehatan warga Amerika membantu kepentingan egois industri tembakau.

Arthur W. Page. Di antara para perintis yang membentuk praktek PR saat ini, Arthur W. Page ada di deretan terdepan. Page membangun tiga karier bisnis yang berhasil, namun ia masih punya waktu untuk menyumbang bakat bagi banyak upaya layanan publik. Ia menjadi penulis dan redaksi World's Work Magazine dan terbitan berkala lainnya dari Doubleday, Page and Company mulai 1905 hingga 1927. Lalu ia menerima tawaran Walter Gifford untuk menjadi wakil presiden American Telephone and Telegraph Co. menggantikan James D. Ellsworth. Sejak awal Page sudah menegaskan bahwa ia hanya akan menerima jabatan itu dengan syarat tidak difungsikan sebagai orang publisitas, mempunyai suara dalam penentuan kebijakan, dan kinerja perusahaan menjadi penentu reputasi puliknya. Falsafah Page terangkum dalam pernyataannya:


"Semua bisnis di negara demokratis diawali dengan izin dari masyarakat, dan ada karena persetujuan masyarakat. Jika benar, sudah selayaknya bisnis dengan sepenuh hati memberitahu masyarakat tentang kebijakan-kebijakan, apa yang tengah dilakukan, dan rencana yang akan dilakukannya. Dalam praktek agaknya hal ini merupakan kewajiban."


Page pensiun dari AT&T pada 1947, setelah mengintegrasi konsep dan praktek PR ke dalam Sistem Bell. Sejak saat itu hingga wafatnya pada 1960 dalam usia 77 tahun, ia memberikan layanan konsultasi bagi banyak perusahaan besar dan menyumbangkan banyak waktu untuk layanan pemerintah, pendidikan tinggi, dan badan-badan lainnya. Tetapi jejaknya dalam PR merupakan karyanya ketika bekerja di AT&T. Ajaran dan prinsipnya tidak hanya bertahan pada perusahaan-perusahaan yang dahulu merupakan bagian dari AT&T (pecah pada 1984), melainkan diperbaharui dan dimasyarakatkan oleh Arthur W. Page Society. Keanggotaan perhimpunan yang didirikan pada 1983 ini utamanya mencakup eksekutif hubungan masyarakat senior, konsultan terkemuka, dan tokoh-tokoh hubungan masyarakat lainnya. Menurut kepustakaan Page Society,
Page mempraktekkan enam prinsip PR:

  1. Katakan yang sebenarnya. Biarkan masyarakat tahu apa yang terjadi, dan berikan gambaran yang akurat tentang karakter, idealisme, dan praktek perusahaan.
  2. Buktikan dengan tindakan. Persepsi masyarakat tentang organisasi 90 % ditentukan oleh perlakuan dan 10% oleh pembicaraan.
  3. Dengarkan pelanggan. Untuk memberi layanan yang baik bagi perusahaan, pahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat. Berikan informasi terus-menerus kepada pengambil keputusan puncak dan karyawan lainnya tentang PR bagi produk, kebijakan, dan praktek perusahaan.
  4. Kelola untuk besok. Lakukan antisipasi PR dan kesampingkan praktek yang menciptakan kesulitan. Bangkitkan niat yang baik.
  5. Terapkan PR seolah seluruh perusahaan bergantung padanya. Hubungan korporat merupakan fungsi manajemen. Tidak ada strategi korporat yang boleh diterapkan tanpa mempertimbangkan dampaknya pada masyarakat. Profesional PR merupakan pengambil kebijakan yang cakap, menangani banyak sekali aktivitas komunikasi korporat.
  6. Tetaplah tenang, sabar, dan berselera humor baik. Buatlah landasan kerja bagi keajaiban PR dengan konsisten, tenang, dan perhatian beralasan pada informasi dan kontak. Saat muncul krisis, ingatlah bahwa komunikasi terbaik dihasilkan oleh kepala dingin.

Alice L. Beeman. Pada konvensi 1925, organisasi ini mengambil bentuk baru yang mencerminkan pertumbuhan praktek ini dalam pendidikan tinggi. Lambang pertumbuhannya pada tahun-tahun berikutnya adalah perubahan nama menjadi Asosiasi Publisitas Lembaga Pendidikan Tinggi Amerika pada 1930, menjadi Asosiasi Hubungan Masyarakat Lembaga Pendidikan Tinggi Amerika pada 1964, dan menjadi Dewan untuk Kemajuan dan Dukungan bagi Pendidikan (CASE) pada 1974 setelah bergabung dengan Dewan Alumni Amerika. Penggabungan ini mencerminkan adanya perubahan penekanan pada PR perguruan tinggi, dari publisitas menjadi pengembangan dan pengumpulan dana. CASE diluncurkan di bawah kepemimpinan presiden pertamanya, Alice L. Beeman. Sebelumnya ia merupakan direktur jenderal Asosiasi Amerika bagi Wanita Universitas yang berbasis di Washington, D.C., dan Yayasan Pendidikan AAUW. Posisi barunya sebagai Presiden CASE menjadikan Beeman wanita pertama yang mengepalai badan PR nasional.

Perkembangan Public Relations di Indonesia

Public relations atau hubungan masyarakat (Humas) secara kelembagaan diakui dengan berdirinya Bakohumas (Badan Koordinasi Humas Pemerintah) pada 13 Maret 1971. Secara yuridis formal, Bakohumas didirikan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Penerangan No. 31/KEP/MENPEN/1971. Lahirnya SK Menpen dalam rangka Pembentukan Bakohumas yang merupakan kelanjutan dari hasil musyawarah antar Humas-Humas Departemen/Lembaga Negara pada tanggal 6 Desember 1967.

Musyawarah tersebut antara lain menyepakati, bahwa :
"Untuk memperoleh daya guna dan tepat operasi penerangan setinggi-tingginya, maka dipandang perlu untuk membentuk suatu badan yang bertugas mengkoordinir, mengintegrasikan dan mensinkronisasikan kegiatan Humas-Humas pemerintah.”
Musyawarah ini menyetujui diadakannya koordinasi antar Humas Departemen/Lembaga Negara, disingkat Bakor, yang dikoordinasikan oleh Deppen. Kemudian pada pertemuan pleno Bakor pada tanggal 1 Juli 1970, untuk membicarakan peningkatan dan efektivitasnya wadah ini, diperoleh kata sepakat untuk merubah Bakor menjadi Bakohumas (Badan Koordinasi Humas Pemerintah).

Dalam perkembangan selanjutnya lahirlah SK Menteri Penerangan tersebut diatas yang beberapa pasalnya antara lain berbunyi :
Pasal 1 : Perihal Kedudukan
  1. Ditingkat Pemerintah Pusat dibentuk Badan Koordinasi Kehumasan Pemerintah disingkat Bakohumas.
  2. Bakohumas Pusat berkedudukan di Departemen Penerangan.
  3. Keanggotaan Bakohumas terdiri dari Humas-Humas (Lembaga-Lembaga Pemerintah Negara/Non Departemen) pada tingkat Pemerintah Pusat yang diwakili oleh satu orang atau lebih.

Adapun tugas Bakohumas ini adalah :
  1. Membantu Menteri Penerangan dalam menetapkan kebijaksanaan pembinaan hubungan yang lancar dan harmonis antara masyarakat dan pemerintah.
  2. Mengadakan koordinasi, integrasi, sinkronisasi dan kerjasama antara Humas Departemen/Lembaga Negara.
  3. Merencanakan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sesuai dengan kebijaksanaan Pemerintah.

Perkembangan Humas Pemerintah di Indonesia cukup pesat dengan tiga faktor yang melatarbelakanginya: 1) cepatnya kemajuan teknologi; 2) pertumbuhan ekonomi; 3) hausnya masyarakat akan informasi yang akurat. Hal ini sejalan dengan tugas Bakohumas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Komunikasi dan Informasi No. 03A/SK/MENEG/I/2002 tentang Badan Koordinasi Kehumasan Pemerintah, yaitu:
  1. Membantu Pemerintah dalam melancarkan arus informasi antar lembaga pemerintah dan antar pemerintah dengan masyarakat.
  2. Mengadakan koordinasi dan kerjasama antar Humas Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara serta BUMN.
  3. Merencanakan dan melaksanakan kegiatan kehumasan.

Bakohumas mempunyai kegiatan antara lain, sebagai berikut:
  1. Ikut serta dalam berbagai kegiatan Pemerintah, khususnya di bidang layanan informasi.
  2. Melakukan pembinaan dan pengembangan profesi kehumasan.
  3. Meningkatkan fungsi dan kedudukan Humas dalam rangka menunjang kebijakan Pemerintah.
  4. Memelihara hubungan kerjasama yang baik dan menciptakan hubungan yang efektif dan harmonis dengan organisasi dan lembaga resmi serta masyarakat.

Selanjutnya, lembaga pertama di Indonesia yang menghimpun para praktisi Humas (individual) adalah Perhumas (Perhimpunan Hubungan Masyarakat). Berdirinya Perhumas didasari cita-cita akan adanya sebuah forum profesi kehumasan di Indonesia. Gagasan tersebut semakin menguat ketika salah seorang praktisi Humas, Marah Joenoes menghadiri World Public Relations Congress ke-6 di Jenewa. Akhirnya setelah melalui berbagai diskusi, pada tanggal 15 Desember 1972 secara resmi didirikanlah Perhimpunan Hubungan Masyarakat Indonesia yang disingkat Perhumas sebagai organisasi profesi kehumasan di Indonesia. Para pendiri Perhumas, antara lain, adalah: M. Alwi Dahlan, Ph.D, Arifin Pasaribu, Augusto Thomas Graciano, D. Tahitoe, SH, Drs. Feisal Tamin, Drs. R.M. Hadjiwibowo, Kolonel Drs. Hoedioro, Mayor Drs. I Made Arisandi, R. Imam Sajono, Drs. Mahiddin, Marah Joenoes, Moestafa Kemal, Mohammad Jahja Daeng Nompo, Mohammad Ridwan, Nana Sutresna, MA, Roy Tjia Hen An, S.D. Pontoh, SH, Drs. Soemadi, Brigadir Jenderal Soemrahadi, Ir. Wardiman Djojonegoro, dan Wisaksono Noeradi (http://www.perhumas.or.id).

Perhumas dibentuk dengan tujuan meningkatkan keterampilan profesional Humas, memperluas dan memperdalam pengetahuan teknis Humas, dan sebagai wahana pertemuan para praktisi Humas.



PR di Negara Berkembang

PR merupakan suatu subjek studi dan kegiatan yang sangat diminati di negara-negara Dunia Ketiga karena mereka menghadapi kebutuhan yang begitu mendesak untuk menyebarluaskan berbagai macam pengetahuan dan pemahaman kepada penduduknya, baik di sektor swasta maupun sektor pemerintah.

Komunikasi seringkali menjadi masalah pelik sehubungan dengan terbatasnya media-media modern, jauhnya jarak antara satu kota dengan kota lainnya, masih tingginya tingkat buta huruf di kalangan penduduk, sangat bervariasinya suku-suku bangsa yang memiliki bahasa daerahnya sendiri, serta masih begitu banyaknya hal yang dianggap terlarang atau tabu.

Situasi PR di negara-negara Dunia Ketiga sangat berbeda dengan yang ada di Barat. Di negara-negara berkembang dibutuhkan teknik-teknik PR yang serba khusus. Para praktisi PR di negara-negara berkembang harus bekerja lebih keras. Pendidikan, yakni salah satu karakteristik utama PR, merupakan aspek pokok dalam perjuangan pembangunan yang tengah dilakukan oleh hampir semua negara berkembang. Banyak di antara mereka yang begitu ambisius untuk mencoba menciptakan lompatan-lompatan kemajuan langsung menuju ke pola hidup serba modern ala Abad XX.

Dua tugas utama praktisi PR di negara-negara berkembang:
  • Di Sektor Pemerintah, lembaga-lembaga pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, bertanggung jawab untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai berbagai kebijakan dan program pemerintah. Contoh: Program wajib belajar pendidikan tingkat dasar baru dicanangkan di Nigeria 1977, atau 100 tahun lebih lambat dari program serupa yang dilaksanakan di Inggris melalui Undang-Undang Pendidikan 1870. Pemerintah negara-negara berkembang menghadapi tantangan PR yang sangat besar, maka wajar jika lembaga-lembaga pemerintah lebih membutuhkan para praktisi PR yang handal daripada sektor-sektor industri serta komersial swasta.
  • Di Sektor Swasta, ruang lingkup PR yang ditangani oleh pihak swasta di negara-negara berkembang sangatlah luas. Pada awalnya, tradisi PR ini dibawa oleh perusahaan-perusahaan multinasional dan perwakilan-perwakilan negara asing. Secara umum, para produsen, importir, dan pemasok sama-sama memiliki kewajiban untuk menyediakan informasi mengenai berbagai macam produk baru. Meskipun produk-produk tersebut sudah populer di negara Barat, mereka harus berusaha keras untuk memperkenalkannya kepada konsumen di negara-negara Dunia Ketiga. Mereka juga harus rajin mendidik pasar mengenai bagaimana cara pemakaian suatu produk. Ini bukanlah tugas yang mudah, karena pasar di negara-negara berkembang bisa diibaratkan seperti kanak-kanak yang belum tahu apa-apa dan cenderung bersikap masa bodoh. Hal itu sendiri merupakan akibat dari masih tingginya tingkat buta huruf, kesulitan komunikasi yang bersumber dari keragaman bahasa, dan jeratan kemiskinan. Salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi oleh sektor swasta (perusahaan komersial) di negara-negara berkembang adalah rendahnya kepercayaan konsumen terhadap kualitas produk buatan negaranya sendiri. Berkenaan dengan rendahnya kepercayaan konsumen terhadap kualitas dan prestise produk-produk buatan dalam negeri. Salah satu tugas PR yang harus dikerjakan oleh sektor swasta di negara-negara berkembang adalah mempromosikan kepercayaan di kalangan konsumen domestik terhadap produk-produk buatan dalam negeri.

Perkembangan media PR di negara-negara berkembang:
1. Media pers
Meningkatnya popularitas pers atau surat kabar menunjukkan membaiknya kondisi dan kemakmuran penduduk, mengingat pembelian surat kabar selalu bersifat sukarela. Selain masalah kemampuan baca tulis penduduk di negara Dunia Ketiga, masalah utama lainnya yang dihadapi oleh sirkulasi media adalah kurangnya cetakan berita (seperti yang dialami oleh Ghana dan Zambia), kondisi ekonomi, masih banyaknya pengangguran, dan rendahnya dayabeli penduduk (seperti di India).

2. Radio
Di negara-negara berkembang ada dua macam radio yang sangat populer, yakni radio transistor dan radio ‘kotak’ atau radio redifusi. Pelaksanaan siaran radio harus memperhitungkan minat-minat khusus dan kepentingan khas dari para pendengarnya di daerah pedesaan. Mereka biasanya ingin mendengarkan ulasan atas hal-hal yang erat dengan kehidupan mereka sehari-sehari. Mereka kurang tertarik untuk mendengarkan berita-berita yang mereka anggap asing atau aneh.

3. Televisi
Di sejumlah negara berkembang, televisi masih menjadi media eksklusif bagi kaum elit karena keterbatasan stasiun pemancar mengharuskan pemiliknya untuk membeli alat penerima khusus yang harganya cukup mahal. Tetapi di beberapa negara, usaha penyewaan alat penerima ternyata cukup maju. Hambatan utama bagi berkembangnya media televisi adalah keterbatasan pasokan tenaga listrik, terutama sekali di daerah-daerah terpencil.

4. Bioskop
Ada dua macam bioskop yang populer di negara-negara berkembang, yakni bioskop statis (ditayangkan di dalam sebuah gedung tertutup) dan bioskop keliling. Bioskop keliling ini, sesuai dengan namanya, dibawa ke berbagai tempat dengan kendaraan tertentu hingga ke desa-desa terpencil.

5. Jurnal internal
Jurnal internal yang diterbitkan oleh perusahaan cukup populer di kebanyakan negara berkembang. Hanya saja, pihak perusahaan acapkali justru mengalami kesulitan menjadikan jurnal internal tersebut sebagai sarana komunikasi dengan para pegawainya sendiri, karena di antara mereka masih banyak yang buta huruf. Majalah dinding yang dipenuhi gambar-gambar nampaknya menjadi salah satu alternatif yang cukup tepat guna menghadapi masalah buta huruf. Jurnal internal dan jurnal eksternal juga bisa dipakai sebagai alat yang cukup ampuh untuk mendidik pasar.

6. Film-film Dokumenter dan Video
Mengingat biaya pembuatan film cukup mahal, maka video yang biaya produksinya lebih murah itu menjadi lebih populer, apalagi perangkat pendukungnya cukup mudah diperoleh.

7. Pameran
Penyelenggaraan pameran selalu disambut gembira oleh masyarakat di negara-negara Dunia Ketiga, karena acara tersebut juga merupakan ajang hiburan bagi mereka. Di pameran itu, dapat bersifat statis dan dinamis. Pameran dinamis bisa diwujudkan berupa pertunjukkan keliling yang disertai dengan serangkaian demonstrasi, film atau video, serta atraksi musik atau tarian.

8. Media-media Tradisional
Media tradisional adalah digunakannya tokoh-tokoh terkemuka untuk menyebarkan suatu pesan tertentu ke masyarakatnya.

Sejarah Public Relations di Barat

Teknik-teknik public relations (PR) diterapkan oleh pemerintah di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, demikian juga di banyak negara berkembang dimana pemerintahnya merupakan pihak utama yang mengadakan berbagai inisiatif dalam mempengaruhi perubahan sosial.

Sejarah PR di negara Barat dan di negara berkembang akan diuraikan berdasarkan sejarah Humas dari buku Frank Jefkins berjudul “Public Relations”



Pada 1809, Departemen Keuangan Kerajaan Inggris menunjuk seorang juru bicara resmi.
Pada 1854, Dinas Pos Kerajaan Inggris, dalam salah satu laporan tahunannya, mengakui perlunya penjelasan secara luas atas pelayanan yang dilakukannya kepada masyarakat umum.
Pada 1912, Pemerintah inggris mulai menggunakan taktik PR yang lebih terarah dan rinci. Pada waktu itu, Llyod George yang menjabat sebagai Chancellor of the Exchequer (Bendahara Negara), mengorganisasikan sebuah tim tersendiri yang bertugas untuk memberi penjelasan perihal rancangan program pensiun bagi kaum lanjut usia yang pertama di dunia kepada masyarakat luas.

Setelah Perang Dunia I, pemerintah dari berbagai negara mulai memakai metode-metode PR dalam menjelaskan program kesehatan dan perumahan nasional kepada rakyatnya.

1926-1933, di Inggris berlangsung suatu upaya PR terpadu yang terbesar pada zamannya. Ketika itu, Sir Stephen Tallents, atas nama Dewan Pemasaran Kerajaan (Empire Marketing Board) telah mengeluarkan £1 juta untuk menjadikan buah-buahan serta berbagai macam produk Inggris lainnya lebih dikenal oleh rakyatnya sendiri. Usaha PR besar-besaran tersebut dilakukan melalui serangkaian film, poster-poster, dan pameran.

Pada 1948, Sir Stephen Tallents menjadi presiden yang pertama bagi sebuah lembaga formal pertama yang bertujuan mengembangkan bidang PR, yakni Institute of Public Relations (IPR). Namanya lantas diabadikan menjadi suatu tanda penghargaan tahunan (Sir Stephen Tallents Medal) yang disampaikan secara langsung oleh presiden IPR kepada tokoh-tokoh tertentu yang dinilai berjasa dalam bidang PR.

Tahun 1948 memang merupakan tahun yang sangat bersejarah bagi masyarakat PR Inggris dan Amerika Serikat. Pada tahun itu terbentuklah Institute of Public Relations di Inggris serta Public Relations Society of America di Amerika Serikat.

Public Relations Society of America adalah salah satu biro konsultan PR yang pertama di Amerika Serikat yang dibentuk seorang jurnalis bernama Ivy Ledbetter Lee. Ia pernah menangani PR perusahaan industri batubara dan perusahan kereta api - Pennsylvania Railroad. Pada 1914, ia menjadi salah seorang penasehat utama raja minyak Amerika, John D. Rockefeller.

Pekerjaan PR di masa itu benar-benar berat. Ivy selalu dituntut untuk memastikan adanya peliputan pers yang adil atas sepak terjang perusahaan batubara dan kereta api dimana ia bekerja, terutama sekali pada saat-saat krisis. Ia melakukannya dengan menciptakan dan memelihara hubungan yang baik antara perusahan dengan pihak luar, terutama kalangan media massa. Ivy begitu tekun mengerjakan segala pekerjaannya, bahkan ia lebih jauh merintis perumusan prinsip-prinsip dasar untuk menciptakan suatu hubungan yang baik dengan lembaga pers.

Pada 1906, Ivy menyampaikan kumpulan prinsip-prinsip pokok itu. Ia berjanji akan “menyediakan berbagai macam informasi yang cepat dan akurat, khususnya mengenai segala sesuatu yang bernilai tinggi dan menyangkut kepentingan-kepentingan umum sehingga memang perlu diketahui oleh segenap lapisan masyarakat”.

Fungsi PR pada lembaga pemerintahan memang sudah berlangsung di Inggris sejak 200 tahun sebelumnya. Akan tetapi pelaksanaan fungsi-fungsi PR oleh kalangan swasta serta tumbuhnya bisnis konsultasi PR, harus diakui lebih dulu berkembang di Amerika Serikat.

Terjadinya Perang Dunia II membuat perkembangan PR di Inggris sedikit tersendat. Dunia usaha dan perdagangan memjadi lumpuh, diberlakukan penjatahan bahan pokok. Banyak ahli periklanan dan perintis praktisi PR yang direkrut oleh pemerintah untuk menjalankan berbagai fungsi propaganda perang.

Penghujung 1940-an, para praktisi PR baru dapat kembali mengurus bidang konsultasi PR.

Meskipun demikian, pada periode antara PD I dan II (1920-an - 1930-an), kegiatan-kegiatan PR internal di lingkungan bisnis tetap berjalan. Sebagian dari sekian banyak macam fungsi PR yang baru berkembang itu disebut “advertorial”. Produk-produk konsumsi baru, seperti mobil dan radio, bermunculan dengan derasnya dan menjadi populer dalam waktu yang relatif singkat. Periklanan memegang peranan penting dalam memperkenalkan dan mempopulerkan produk-produk tersebut kepada masyarakat.

Sejalan dengan hal itu, teknik-teknik PR juga berkembang pesat serta melahirkan berbagai macam bentuk perangkat PR yang baru, seperti jurnal internal, presentasi slide, film dokumenter, dan juru bicara keliling (travelling lecturers). Seiring dengan kemajuan-kemajuan PR selama 200 tahun terakhir ini, berkembang pula sejumlah wahana dan alat komunikasi modern. Selama periode yang cukup panjang tersebut, pers; media cetak dan radio, dan bioskop memainkan peranan yang sangat besar sebelum munculnya alat-alat komunikasi dan informasi yang lebih baru serta lebih canggih seperti televisi, video dan satelit. Perkembangan penting lain yang turut menyertainya adalah semakin majunya tingkat pendidikan dan tingkat melek huruf di kalangan masyarakat luas.

Definisi Public Relations

Public relations (PR) yang diterjemahkan bebas menjadi hubungan masyarakat (Humas), terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara...