06/07/12

Filsafat Teknologi dan Pemanfaatan Media Komunikasi


Sejak manusia dapat berpikir dan adanya keinginan untuk lebih mengenal lingkungannya agar dapat mengatasi segala tantangan dan ancaman yang dihadapi -- maka manusia membuat dan mengembangkan peralatan dan prasarana hidup yang ia butuhkan. Mulai saat itu, keterampilan yang dimiliki untuk membuat prasarana dan peralatan terus disempurnakan. Keterampilan tidak dapat dipisahkan dari perencanaan, perekayasaan dan pembuatan apa saja yang diperlukan manusia dengan memanfaatkan ‘teknologi’, yaitu ”cara dan teknik untuk dapat memiliki apa yang dinginkan dengan pengorbanan minimal“.

Perlu dijelaskan perbedaan antara ’teknologi’ dan ‘teknik’, dengan ilustrasi berikut: Teknologi dibutuhkan untuk membuat senjata, sedangkan untuk memanfaatkan senjata tersebut dibutuhkan teknik tertentu. Jikalau beberapa orang memakai senjata yang sama hasilnya akan berbeda. Perbedaan tersebut sangat tergantung pada teknik masing-masing dalam memanfaatkan senjata. Demikian pula halnya dengan membuat (teknologi) dan memanfaatkan (teknik) alat musik, menyusun (teknologi) dan membacakan (teknik) suatu makalah dan sebagainya.

Seperti halnya filsafat, teknologi adalah murni hasil pemikiran manusia dan karena itu hubungan antara filsafat dan teknologi sangat erat. Jikalau filsafat menkaji, meneliti dan menganalisis manusia dalam berbagai aspeknya, maka teknologi berperan sangat menentukan terhadap nasib manusia. Teknologi tidak hanya dapat menjawab permasalahan yang dialami manusia pada waktu dan tempat tertentu saja, namun dapat juga menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisik manusia itu sendiri. (Heidegger, 1962) (Martin Heidegger: Die Technik und die Kehre, Pfullingen, ISBN 978‐3‐608‐91050‐6, 1962)

Kemampuan manusia untuk mengembangkan teknologi didorong oleh kelemahan fisiknya yang harus berhadapan dengan ancaman dan tantangan lingkungan. Oleh karenanya, dengan memanfaatkan panca indera dan otaknya, manusia ‘dipaksa’ untuk memiliki teknologi yang ia perlukan guna mempertahankankelangsungan hidupnya (Gehlen, 1940). (A. Gehlen: Der Mensch, Seine Natur und seiner Stellung in der Welt, Berlin, 1940)

Hanya dengan teknologi yang tepat dan berguna, kualitas karya manusia dapat ditingkatkan. Nilai karya manusia ditentukan oleh pasar, di mana karya-karya tersebut bersaing. Sumberdaya alam (SDA) terbarukan atau tidak terbarukan -- akan diberi nilainya masing-masing di pasar. Tanpa teknologi nilai tersebut tidak dapat ditingkatkan. Hal ini juga berlaku untuk suatu sistem karya yang merupakan hasil murni pemikiran dan rekayasa sumberdaya manusia (SDM). Penambahan nilai atau nilai-tambah tersebut hanya dapat tercapai dengan memanfaatan teknik dan teknologi yang tepat.

Tidak ada suatu teknologi yang dapat dikembangkan tanpa penguasaan ilmu alam dan ilmu hasil eksperimen, dalam rangka mengecek keunggulan teori, menganalisis suatu sistem atau membuat/mengembangkan alat dibutuhkan. Oleh karena itu teknologi adalah produk murni hasil pemikiran manusia dan bukan sumberdaya alam.

Jikalau teknologi dapat bersinergi dengan budaya, perilaku dan bakat seseorang, maka yang bersangkutan akan menjadi sangat terampil atau sangat ’produktif’. Keunggulan daya saing sesorang hanya ditentukan oleh dua elemen saja, yaitu ‘teknologi‘ dan ‘produktivitas‘.

Di pasar, karya hasil pemikiran yang diimbangi oleh keinginan dan kebutuhan manusia tersebut menjadi pendorong utama berkembangnya teknologi dan produktivitas. Temuan produk baru, proses nilai-tambah akan terus berkembang dan demikian pula kualitas SDM. Teknologi, produktivitas, nilai-tambah, keunggulan dan daya saing harus bersinergi untuk menjawab tuntutan pasar, sehingga dapat menghasilkan produk apa pun yang berkualitas tinggi dengan harga yang tepat.

Teknologi adalah rangkuman beberapa disiplin Ilmu terapan, sedangkan ilmu terapan adalah berunsur pada Ilmu dasar terkait. Ilmu dasar dan ilmu terapan akan terus berkembang sesuai kebutuhan manusia sepanjang masa. Tahap demi tahap teknologi tepat-guna dan energi telah merubah SDA menjadi produk baru. Untuk perubahan ini manusia telah diilhami, dirangsang dan belajar dari alam sekitarnya. Ilmu pengetahuan dasar, dan demikian pula ilmu pengetahuan terapan, diilhami oleh ‘mekanisme alam‘ melalui suatu evolusi telah berkembang. (Nachtigall, 2005 dan Nachtigall, 2003). (Werner Nachtigall: Biologisches Design ISBN 3‐540‐22789‐X Springer, 2005; Werner Nachtigall: Bau‐Bionik, ISBN 3‐540‐44336‐3 Springer, 2003)

Dewasa ini tidak ada satu kebijaksanaan pun yang dapat menyelesaikan masalah, tanpa memperhatikan filsafat dan teknologi. Apakah masalah ekonomi ataupun politik, sama saja. Nasib manusia pada waktu ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan manusia mengembangkan, menerapkan, mengendalikan dan menguasai teknologi.


MEMAHAMI FILSAFAT TEKNOLOGI
Tak banyak orang yang mengenal filsafat teknologi. Karena filsafat umumnya kita kenal sebagai maha ilmu yang membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan eksistensi manusia, Tuhan ataupun Wujud (realitas). Untuk itu menghubungkan filsafat dan teknologi akan terkesan tak biasa. Padahal filsafat teknologi adalah salah satu genre dalam ranah filsafat yang dapat dikatakan banyak menarik perhatian para filsuf. Heidegger, Habermas, Jacques Ellul, Don Ihde dan Andrew Feenberg adalah beberapa contoh filsuf yang memberikan perhatian pada hakikat teknologi dalam dunia-kehidupan.
Pertanyaan tentang hakikat teknologi sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunani kuno (Aristoteles). Saat itu dikenal terma filsafat: techne dan poiesis. Heidegger mengungkap hal ini dalam bukunya The Question Concerning Technology (1977). Techne dapat dijelaskan sebagai pengetahuan tentang cara memproduksi atau mentransfomasikan, sedangkan poiesis adalah sebuah penyingkapan, yang dengannya sesuatu yang baru hadir di muka bumi. Pada masa modern filsafat teknologi tidak hanya membahas techne, poiesis dan kaitannya dengan dunia-kehidupan saja, tapi juga artifak atau teknofak yang tak dapat dipungkiri mempengaruhi kehidupan dan juga kesadaran.
Heidegger adalah salah satu filsuf yang membuka diskursus filsafat teknologi. Karakter dan hakikat teknik (teknologi) bahkan sudah dibicarakan oleh Heidegger dalam buku besarnya Being and Time(1927), yang kemudian dtuntaskan dalam bukunya The Question Concerning Technology(1977). Menurut Heidegger hakikat teknologi adalah bukan sesuatu yang bersifat teknologis, melainkan enframing; membuat, mencipta atau mentransformasikan (yang kemudian mengungkapkan sesuatu yang baru). Yang teknologis kemudian dimengerti bukan semata-mata yang teknis tetapi juga yang reflektif filosofis.
Refleksi filosofis tentang teknologi telah mencipta tanggapan yang berbeda-beda tentang hakikat teknologi. Di Amerika misalnya dikenal sebuah gerakan atau perkumpulan anti-teknologi. Gerakan ini bernama Neo-Luddite. Nama ini berasal dari Luddisme, yaitu sebuah gerakan anti industrialisasi di Inggris pada awal abad 19. Gerakan ini sering dikisahkan sebagai gerakan merusak mesin yang dilakukan oleh para buruh karena mengancam lahan kerjanya, salah satunya diperkirakan orang yang bernama Ned Ludd. Demikianlah Luddisme dikenal. Sekarang kita mengenal neo-luddite sebagai gerakan anti teknologi. Gerakan yang mempunyai manifesto bahwa: biosphere itu lebih utama dari technosphere. Mesin misalnya menurut Neo-Luddite merupakan dekadensi dalam peradaban. Ia telah mengambil alih kerja (keterampilan tangan/seni) manusia—memproduksi secara massal. Gerakan ini bahkan menolak produksi/percetakan buku atau kertas—padahal dikenal sebagai gerakan kaum intelektual. Alasannya, produksi buku (kertas) secara masal telah menghabiskan hutan-hutan di Eropa. Selain itu menurut mereka budaya baca buku telah menghilangkan tradisi bercerita atau mendongeng.
Filsafat teknologi tentu tidak terbatas pada bagaimana relasi manusia dengan artifak (dan teknofak) itu dapat dijelaskan. Jacques Ellul, seorang pemikir dari Perancis dalam bukunya The Technological Society (1964) melihat teknologi (lebih spesifik dunia teknik) sebagai entitas yang otonom, manusia tidak bisa mengontrol dan mengatasi kemajuan teknik. Hanya teknologi yang dapat mengontrol dan mengatasi dirinya sendiri.
Dengan kata lain, implikasi etis, sosiologis dan ekologis dari kemajuan teknik hanya dapat diatasi oleh teknik itu sendiri. Untuk mengatasi persoalan limbah industri misalnya diperlukan teknologi baru untuk mengolah atau mengatasi permasalahan limbah. Sehingga teknik terus menerus maju untuk mengatasi kekurangan-kekurangan yang ada pada dirinya. Ia bergerak dengan sendirinya layaknya sebuah organisme–bagian dari laju evolusi kehidupan. Karena itu ia tidak dapat dikontrol, seperti monsternya Frankenstein.
Bahkan Teknologi di sini diandaikan seperti roh absolut Hegel yang bergerak secara masif mengontrol dan menguasai dunia-kehidupan. Tidak ada kekuatan selain dunia teknik itu sendiri. Karena teknik adalah syarat bagi kehidupan. Dengan kata lain orang yang tidak menggunakan atau anti teknologi (teknik) akan dengan sendirinya tersingkir dan tereliminasi dari dunia-kehidupan.
Gagasan Ellul tentu saja terkesan ambisius. Mengapa kita tidak bisa mengontrolnya? Bukankah semua itu kreasi manusia? Banyak pemikir melihat bahwa determinisme teknik adalah konsekuensi dari ideologi modernisme, yang di dalamnya terdapat gagasan ideologis tentang kemajuan dan perubahan. Sehingga gagasan deterministik mengandaikan sebuah kondisi sejarah yang tak terelakkan, kita hidup dalam sebuah keniscayaan sejarah yang menempatkan dunia teknik sebagai syarat-syaratnya.
Don Ihde, ahli fenomenologi dari Amerika menanggapi dengan berbeda soal determinisme ini, bahkan dalam beberapa hal menolaknya. Ia mengupas terlebih dahulu relasi teknologi dan kebudayaan manusia. Argumen diawali dengan penjelasan tentang relasi hermeneutis dalam konteks kultural, yaitu sebuah interpretasi yang terjadi ketika suatu budaya menangkap atau menerima artifak teknologi kebudayaan lain. Don Ihde melihat bahwa ada kegiatan hermeneutis ketika teknologi sebagai instrumen kultural dimaknai dan diinterpretasikan secara berbeda; Yaitu ketika terjadi transfer teknologi (Don Ihde, Technology and the Lifeworld: From Garden to Earth, 1990: 125).
Nilai praktis teknologi dalam proses transfer teknologi dapat diinterpretasikan secara berbeda bahkan tidak dimengerti. Namun bila nilai praktis dapat dimengerti, proses transfer teknologi menjadi mudah. Dapat dikatakan tidak ada kegiatan hermeneutis. Orang Papua Nugini misalnya dapat mengkonversikan pisau/kapak dari batu menjadi pisau/kapak dari besi karena nilai praktis yang dapat dimengerti atau sama. Berbeda ketika mereka pertama kali melihat senapan. Mereka tidak mengerti nilai praktis senapan. Perlu adanya kegiatan hermeneutis sebelum senapan menjadi penting dan berguna. Jadi sama seperti kita pertama kali melihat komputer atau teknologi lainnya. Orang yang tidak mengerti nilai praktis teknologi tentunya akan bertanya-tanya ketika melihat benda teknologi tersebut.
Nilai praktis memberikan persepsi yang berbeda dalam melihat teknologi. Setiap budaya misalnya mempunyai teknologi yang sama, namun mempunyai nilai praktis yang berbeda. Di Cina pada awalnya bubuk mesiu digunakan untuk petasan, perayaan-perayaan, berbeda dengan di Barat yang menggunakan bubuk mesiu untuk senjata, peperangan. Begitu juga tenaga angin (kincir angin), ia juga sama-sama dipakai di Barat dan juga di Timur (Iran). Namun nilai praktisnya berbeda, di Barat tenaga angin membawa banyak kegunaan, sedangkan di Iran hanya untuk tenaga irigasi. Jadi setiap budaya mempunyai ekspresi berbeda tentang teknologi yang digunakannya. Masing-masing mempunyai nilai praktisnya sendiri.
Berdasarkan interpretasi antropologis, Don Ihde kemudian menyimpulkan bahwa teknologi itu inheren dengan kebudayaan. Bila kita melihat contoh di atas benarlah bahwa setiap artifak kebudayaan itu mengandung nilai teknologisnya sendiri. Setiap budaya menggunakan instrumen teknologi (artifak) sesuai dengan tradisi yang diturunkan, dan ia bersifat unik. Karena itu teknologi inheren dengan budaya itu sendiri. Maka pertanyaan pun beralih, apakah budaya itu dapat dikontrol atau tidak? Atau apakah budaya itu bersifat determinisitik?
Tentu tidak semudah itu mengatakan bahwa apakah budaya itu dapat dikontrol atau tak dapat dikontrol (deterministik). Kata kontrol dalam konteks ini bermasalah. Karena dalam nalar Don Ihde relasi manusia-teknologi (budaya) sudah mengandaikan adanya kegiatan “mengontrol” dan “dikontrol” (Technology and the Lifeworld, 1990: 140). Untuk itu budaya-teknologi tidak dapat dipertanyakan apakah ia dapat dikontrol atau tidak. Teknologi bukanlah monster yang berdiri bebas dan otonom. Karena ia digunakan dan bersifat intensional, artinya manusia mempunyai kebebasan untuk mengontrol dan dikontrol. Dalam konteks inilah Don Ihde menolak asumsi metafisika deterministik dari teknologi.
Ketika setiap budaya mempunyai ekspresi yang berbeda tentang teknologi, maka teknologi dipahami bersifat non-netral. Bahkan Ihde melihat bahwa teknologi itu bersifat ambigu. Ketika teknologi dimaknai sebagai kode-kode budaya maka ia pun dapat dimaknai secara berbeda. Karenanya teknologi sebagai bagian inheren dari budaya bersifat kontekstual dan mempunyai ciri multistabil (Technology and the Lifeworld, 1990: 144). Multistabilitas ini dapat dipahami sebagai pandangan khas/unik setiap budaya dalam memahami dan menjelaskan dunianya. Jadi relasi teknik dan relasi hermeneutis setiap budaya dalam menjelaskan dan memahami dunia itu berbeda-beda
Karena pengalaman kebudayaan berbeda-beda maka persepsi tentang teknologi pun berbeda. Mulstabilitas yang terjadi pada relasi manusia-teknologi ini dapat dicontohkan dalam sistem navigasional. Orang Barat mempunyai sistem yang baik untuk navigasi kapal, tapi tetap tidak bisa mentransfer teknologi navigasionalnya ke suku-suku di Pasifik Selatan. Artinya suku di Pasifik Selatan itu tetap tidak mengerti teknologi navigasional orang Barat yang bersifat hermeneutis/representasional (penggunaan kompas misalnya). Mereka tetap mempunyai teknologinya sendiri, seperti membaca arah lewat pola-pola ombak atau pola bintang-bintang (relasi kemenubuhan).
Gagasan determinisme teknologi tak dapat dimungkiri juga terkait dengan fenomena kesadaran dan relasinya dengan artifak-artifak teknik. Habermas misalnya melihat bahwa kemajuan teknik (teknologi) akhirnya menentukan kesadaran masyarakat modern. Self-understanding masyarakat modern tentang dunianya menurut Habermas dimediasikan oleh apropriasi hermeneutis terhadap budaya teknologi yang bergerak secara teleologis. Ini memberikan sebuah asumsi bahwa jaring-jaring logika teknik kemudian menjadi determinan utama kesadaran. Aksi-intensi kemudian ditentukan oleh logika dan hukum yang berlaku dalam dunia teknologi.
Akibatnya menurut Habermas pengejawantahan rasio melulu bersifat teknis, artinya dimensi praksis rasio adalah kegiatan produktif yang hanya mengungkapkan nilai-nilai efesien dan fungsional. Dimensi praksis rasio kemudian semata-mata dimengerti sebagai aplikasi teknis yang merupakan penerapan sains dan rasionalitas. Hal inilah yang kemudian menggejala dalam bentuk kontrol teknis terhadap alam. Sehingga tujuan utama pencerahan (emansipasi sosial ) terlupakan. Ilmu pengetahuan kemudian semata-mata dimengerti sebagai moda atau cara bagaimana mengontrol dan memanipulasi alam. Inilah yang membuat masyarakat modern tenggelam dan terarahkan oleh dimensi teknis dari pengetahuan. Padahal tujuan utama pencerahan adalah emansipasi sosial yang terkait dengan kesadaran bahwa lewat pengetahuan kita dapat melepaskan diri dari segala dogmatisme dan kepicikan.
Berbicara tentang teknologi dalam konteks filsafat tentu tak lepas dari persoalan bagaimana kita secara ontologis memahami dunia lewat instrumen teknik. Dalam nalar Heideggerian hal ini menyangkut bagaimana interaksi kita terhadap dunia dapat dijelaskan dan diatasi melalui instrumen.
Seperti kita ketahui pada zaman kuno dunia dijelaskan lewat mitos, manusia mengkonstruksikan sebuah sistem untuk menjelaskan dunianya lewat pengandaian-pengandaian mitologis. Sekarang manusia menggunakan atau menciptakan instrumen untuk menjelaskan dan memahami dunia. Instrumen teknologi secara perseptual kemudian merepresentasikan realitas. Kita menggunakan teropong (teleskop) untuk melihat benda-benda di kejauhan, termometer untuk mengukur suhu, atau mikroskop untuk melihat partikel-partikel yang tak dapat dilihat secara telanjang oleh mata. Dunia dihadirkan lewat instrumen teknologi.
Don Ihde membuat isitilah hermeneutika teknik untuk menjelaskan fenomena tersebut di atas. Menurutnya, teknologi itu sendiri adalah sebuah teks. Kita secara interpretif memahami dunia lewat artifak teknologi sebagai sebuah teks (Technology and the Lifeworld, 1990: 81). Lebih jauh Hermenutika teknik adalah moda tentang bagaimana manusia menginterpretasikan, membaca, dan memahami dunianya lewat artifak teknologi. Misalnya pilot tidak melihat secara langsung dunia, melainkan membaca lewat panel kontrol. Manusia dalam hal ini menggambarkan dunia lewat sebuah teks atau instrumen teknologi.
Dalam hermenutika teknik juga dikenal relasi kemenubuhan. Ini berarti instrumen teknologi dipahami sebagai kepanjangan atau ekstensi dari fungsi tubuh. Artinya secara transparan dunia ditampilkan oleh instrumen. Tidak ada jarak antara manusia dengan teknologi dalam relasi kemenubuhan. Hal ini dapat diilustrasikan demikian: (I-Technology)-World. Aku dan teknologi menjadi satu berhadapan dengan dunia. Jadi seperti seorang buta dengan tongkatnya. Teknologi adalah tongkat yang digunakan untuk membaca dan mengatasi dunia. (Aku-Tongkat)-Dunia. Relasi kemenubuhan dalam konteks teknologi adalah relasi yang telah ada sejak manusia primitif. Sejak manusia mulai membuat instrumen dari batu. Membuat instrumen untuk memperluas kemampuan atau fungsi organ-organ tubuhnya. Instrumen teknik adalah mimesis dari fungsi tubuh manusia.
Sekarang artifak teknologi telah meluas tidak hanya sebatas nilai efesiensi dan fungsionalitas. Teknologi baru yang berhubungan dengan dunia-kehidupan manusia sekarang terkait dengan nilai-nilai yang mengundung unsur permainan. Bahkan di negara kurang maju ia menjadi semacam perhiasan saja atau fashion. Misalnya ada suku-suku di Afrika yang tidak dapat menerima dan mengerti budaya jam, mereka kemudian menganggap jam tangan sebagai gelang perhiasan. Fungsionalitas jam tangan dalam hal ini tak dapat dimengerti.
Seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan, dunia teknologi kemudian semakin sulit dimengerti. Artinya cara kerja/sistem (teknis) artifak teknologi itu dalam beberapa hal hanya dipahami oleh para ilmuwan atau teknisi saja. Sekarang artifak teknologi tidak lagi sebatas instrumen untuk membaca dan memahami dunia. Ia telah meluas dan membentuk dunianya sendiri. Yang teknis tidak lagi terkait dengan pengalaman konkret, seperti analogi tongkat di atas. Teknologi tidak hanya memberikan makna intrumental dan fungsional saja. Ia juga secara ontologis membentuk dunianya sendiri.
Dapat dikatakan dunia teknologi pada masa modern terbagi menjadi dua: dunia makna dan dunia teknis yang tersembunyi. Seperti yang ungkapkan oleh Dr. Karlina Supelli (dalam seminar terbatas “Technology and the Lifeworld“) bahwa ada pemilahan analitis dalam dunia-teknologi, yaitu ranah makna dan ranah teknis.
ranah teknis dapat dinterpretasikan sebagai dunia yang hanya dipahami dengan baik oleh oleh para teknisi. Misalnya kebanyakan orang tidak mengerti mengapa AC bisa membuat udara menjadi dingin atau mengapa besi bisa terbang di udara. Ini berbeda dengan dunia makna yang menjelaskan artifak teknologi sebatas fungsionalitasnya saja. Dengan kata lain instrumen tersebut sudah siap pakai. Kita tinggal menggunakannya saja, dalam beberapa hal kita tidak mempedulikan teknik atau cara kerjanya. Radio atau televisi dapat langsung kita nikmati, kita terkadang tidak menyadari bahwa di dalamnya ada dunia teknik yang bekerja. Dunia teknis kemudian menjadi dunia yang selalu terbungkus. Dunia yang makin lama makin sulit dimengerti, semakin asing.

SEJARAH & FILSAFAT TEKNOLOGI
Kita mengenal teknologi dalam pengertiannya yang modern sebagai aplikasi atau penerapan sains. Namun sains dalam pengertiannya yang modern berakar pada revolusi Copernicus pada abad ke 16 masehi yang berujung pada penemuan mekanika Newton yang memandang alam sebagai sebuah mesin raksasa. Pandangan mekanistik Newtonian tentang alam itu sendiri merupakan penggantian pandangan organismik Aristotelean yang mendominasi pemikiran manusia selama lebih dari seribu tahunan. Pandangan organismik Aristoteleian itu sendiri adalah pandangan filosofis yang menggantikan pandangan mitologis yang melihat alam bukan sebagai organisme, tetapi sebagai sebuah kerajaan dengan para dewa sebagai pemerintahnya.
Penggantian-penggantian sudut pandang itu sendiri sebenarnya dipicu oleh penemuan-penemuan teknologi yang kemudian mendominasi era peradaban pasca penemuan teknologis tersebut. Pandangan organismik Aristoteleian itu dipicu oleh lahirnya pemikiran logis yang dimungkinkan oleh ditemukannya huruf alfabetik sebagai teknologi komunikasi informasi yang revolusioner. Begitu juga penggantian pandangan organismik Aristoteleian dengan pandangan mekanistik Newtonian dipicu oleh penemuan revolusioner berikutnya dibidang komunikasi informasi: revolusi Gutenberg. Revolusi Gutenberg bermula dengan ditemukannya mesin cetak tipografis manual oleh Gutenberg. Revolusi teknologi inilah yang memicu lahirnya sains modern.
Tampak dari uraian di atas bahwa lahirnya teknologi pada dasarnya jauh mendahului kelahiran sains modern. Namun, dengan kelahiran sains modern terjadilah sebuah hubungan timbal balik positif antara sains, teknologi dan ekonomi yang memungkinkan revolusi-revolusi sains dan teknologi berikutnya. Sains mekanistik deterministik Newtonian memang melahirkan revolusi industri atau revolusi Watt, namun revolusi Faraday yang melihat dunia sebagai lautan ether elektromagnetik melahirkan revolusi industri kedua setelah ditemukannya generator dan motor listrik. Begitu pula revolusi sains kedua yang dipicu oleh lahirnya teori kuantum dan relativitas, mendorong revolusi industri ketiga dengan ditemukannya mikroprosesor yang merupakan jantung bagi komputer. Itulah sebabnya revolusi industri ketiga ini lebih dikenal sebagai revolusi informasi.
Kini, kita dalam era peradaban informatik, dan Indonesia masih belum mampu menjadi negara industri yang tangguh. Hal ini disebabkan oleh karena tidak terdapatnya lingkaran positif yang baik antara lembaga pengembangan sains dan lembaga pengembangan teknologi dan lembaga pengembangan ekonomi. Padahal keterjalinan ketiga lembaga itulah yang merupakan akselerator bagi perkembangan ekonomi di negara-negara maju. Ketiadaan jalinan ini tercermin pada kenyataan bahwa di Indonesia sains dan teknologi di pandang sebagai barang asing bagi kebudayaan. Padahal hanya dengan melihat sains dan teknologi sebagai cabang budaya dan peradabanlah, maka keterkaitan antara sains, teknologi dan ekonomi itu dapat dijalin dengan erat sehingga akselerasi perkembangan ekonomi dapat menjadi kenyataan.
Berikut ini diajukan sebuah pandangan filosofis tentang teknologi yang berdasarkan pengamatan tentang sejarah teknologi ditinjau sebagai sebuah koevolusi: evolusi teknologi yang berjalan beriringan dengan evolusi peradaban. Dalam pandangan ini peradaban dunia bergerak maju dengan adanya revolusi-revolusi teknologi yang telah terjadi selama ini. Sebagai perspektif diambil sudut pandang yang melihat koevolusi peradaban teknologi tersebut sebagai kelanjutan dari evolusi biologis sementara evolusi biologis dilihat sebagai pengembangan teknologi natural prahumanistik. Dengan pandangan filosofis historis seperti ini, diharapkan kita dapat mengembalikan teknologi ke dalam pangkuan budaya seperti sebagaimana mestinya. Di lihat dari sudut luar, maka proses pengembalian ini merupakan proses pembudayaan teknologi. Hanya dengan pembudayaan teknologi ini lah mesin akselerator pengembangan ekonomi dapat dijalankan dengan sempurna.
Posisi Teknologi dalam Peradaban
Membudayakan teknologi, berarti melihat teknologi sebagai bagian dari budaya manusia. Budaya manusia itu sendiri dapat dipandang sebagai kesatuan organik yang integral yang meliputi empat strata eksistensial yaitu stratum material, stratum energetik, stratum informatik dan stratum normatif. Keempat strata ini berkaitan dengan kategori-kategori materi, energi, informasi dan nilai-nilai. Eksistensi keempat kategori itu menjadi lebih mudah disadari dengan melihat komputer sebagai sistem integral. Jantung komputer itu adalah mikroprosesor yang dirangkai dengan elemen-element lain membentuk sebuah sistem materi. Komputer itu sendiri tak mungkin berfungsi tanpa pasokan energi dari luar. Dia pun tidak berfungsi tanpa adanya program sistem operasi dan program-program aplikasi yang merupakan sistem informasi. Sementara itu program-program itu tak akan berfungsi tanpa penentuan tujuan dari luar yaitu manusia dengan sistem nilai-nilai.
Dilihat dengan perspektif integralis tersebut maka dapatlah kita melihat budaya sebagai sebuah komputer yang merupakan perpanjangan otak manusia beserta organ-organ biologis lainnya. Dalam pandangan ini kebudayaan, dan peradaban sebagai perluasannya, dapat ditinjau sebagai teknologi humanistik yang merupakan perpanjangan bagi teknologi naturalistik organisme manusia sebagai diri pribadi. Manusia sebagai pribadi juga merupakan kesatuan integral yang menyangkut tubuh material dengan segala organnya, prilaku energetik yang menggerakkan organ-organ itu, kesadaran informatik yang mengarahkan perilaku tersebut dan keyakinan normatif yang menyatukan kesadaran itu dalam suatu kesatuan subyektif yang personal.
Tata nilai sebuah peradaban adalah perpanjangan dari keyakinan individual. Khazanah pengetahuan termasuk sains dan filsafat dalam suatu peradaban adalah perpanjangan dari kesadaran manusia. Sementara itu tata lembaga, seperti misalnya sistem politik, sosial dan ekonomi, adalah kepanjangan dari prilaku manusia individual. Akhirnya semua habitat dan peralatan material manusia dapatlah dipandang sebagai tubuh peradaban yang merupakan perpanjangan dari tubuh manusia secara individual. Dengan demikian peradaban sebagai sebuah sistem integral memiliki keempat strata eksistensial integralis. Begitu pula teknologi dalam pengertian sebuah tekno-sistem memiliki stratifikasi yang sama seperti yang terlihat dalam tabel 1.
Dalam tabel ini tampak terdapat pelapisan atau stratifikasi peradaban pada kuadran-kuadran kiri yang individual dan kuadran-kuadran kanan yang kolektif. Stratifikasi itu sesuai dengan kategori-kategori eksistensial integralis yaitu materi (raga dan tatasarana), energi (perilaku dan tatalembaga), informasi (kesadaran dan pengetahuan) dan nilai-nilai (keyakinan dan tatanilai).
Lingkungan hidup material manusia meliputi lingkungan alamiah atau formasi biotik dan lingkungan buatan atau formasi teknik. Sedangkan Lingkungan hidup sosial berupa formasi sosial dan lingkungan hidup kultural berupa formasi mental. Dari keempat formasi itu, yang paling cepat berubahnya adalah formasi teknik. Formasi sosial berubah mengikuti perubahan formasi teknik dan diikuti perubahan formasi mental yang mendukungnya.
Perubahan-perubahan formasi sosial dan mental itu telah membuka cakrawala-cakrawala baru di luar diri manusia dan mengaktualisasikan kapasitas-kapasitas tersembunyi di dalam diri manusia secara bertahap. Dengan demikian proses koevolusi peradaban teknologi dapat dikatakan sebagai sebuah proses berkesinambungan yang panjang manusia dalam memanusiakan manusia. Melalui proses itu, manusia mendapat peluang untuk mengaktualisasikan semua potensi yang ada dalam dirinya.
HAKIKAT TEKNOLOGI
Dalam mengkaji Filsafat Ilmu, dapat dipastikan akan terhubung dengan teknologi, maknanya ketika seorang-orang melakukan perenungan lebih mendalam, maka akan menemukan bahwa teknologi adalah anak kandung dari filsafat ilmu.
Hakikat Teknologi:

Teknologi bukanlah sekedar produk ilmu pengetahuan beserta temuan-temuannya yang berupa mesin, pesawat, reaktor, ataupun fasilitas fisik lainnya yang serba canggih, melainkan juga termasuk sistem organisasi, struktur sosial beserta kekuasaan yang terlintas padanya.
Menurut Kunto Wibisono:
”Merupakan hasil penerapan secara sistematik ilmu pengetahuan, sebagai suatu himpunan rasionalistik empirik dari berbagai komponen pendukungnya, dengan maksud hendak mengusai atau mengendalikan gejala-gejala yang dihadapinya melalui proses produktif secara ekonomis.”

Karakter Teknologi:

Ada beberapa karakter teknologi :

Pertama: teknologi pada hakikatnya adalah ”tangan” untuk melaksanakan kekuasaan yang dimiliki ilmu, hal ini harus disadari oleh manusia. Teknologi dihasilkan dari penerapan ilmu yang sudah mengalami penelitian dan pengembangan lebih lanjut hingga manfaatnya menjadi jelas bagi kehidupan manusia/.

Kedua: teknologi bersifat dialektik, artinya teknologi dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia, akan tetapi pemecahan masalah tersebut menimbulkan permasalahan yang baru , dan permasalah yang baru ini harus dipecahkan dengan teknologi yang baru pula.
Ketiga, teknologi memerlukan energi yang sangat besar. Pada umumnya, di negara-negara industri maju, konsumsi energi perkapita sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara yang laju konsumsinya rendah. Sehingga tampak adanya korelasi antara pendapatan nasional bruto [GNP] dengan konsumsi energi

FILSAFAT TEKNOLOGI?
Filsafat teknologi adalah salah satu cabang filsafat khusus yang melakukan analisis filsafat tentang teknologi dan berbagai unsur serta seginya.
Menurut salah seorag tokoh pelopor filsafat teknologi Carl Mitcham [1980:305], persoalan-persoalan filsafat tentang teknologi ada dua jenis, sebagai berikut:
Jenis Pertama:
menyangkut soal-soal teoritis tentang sifat dasar teknologi, hubungannya dengan ilmu, struktur tindakan teknologi, intisari mesin, dan perbedaan mesin dengan manusia
Jenis Kedua:
”bersifat praktis, menyangkut persolan-persoalan etis mengenai keterasingan dalam masyarakat industri, senjata nuklir, pencemaran dam parktik keinsinyuran yang profesional
Filsafat teknologi Menurut Mario Bunge
Filsafat teknologi dapat dipandang sebagai gabungan dari lima cabang filsafat yang masih merupakan kuncup bunga yang hampir mekar. Mario Bunge menjelaskan (1979:72):
1. technoepistemology
2. technometaphysic
3. technoaxiology
4. technoethics
5. technopraaxiology


Technoepistemology:
Adalah telaah filsafat tentang pengetahuan teknis. Persoalan yang dibebaskan, antara lain adalah membedakan pengetahuan teknologi dan pengetahuan biasa dan pengetahuan ilmiah, atau metode teknologi yang sejajar dengan metode ilmiah serta aturan-aturannya.
Technometaphysic:
Adalah telaah filsafat tentang sifat dasar sistem-sistem buatan dari mesin-mesin sederhana sampai sistem-sistem barnag manusiawiyang rumit. Persoalan yang dibahasnya antara lain adalah prasyarat-prasyarat ontologis dari teknologi atau kekhasan dari semua barang teknologi yang membedakannya dari benda-benda alamiah.

Technoaxiologi:
Adalah telaah filsafat tentang penilaian yang dilakukan oleh para ahli teknologi dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan teknologi mereka. Persoalan yang dibahasnya, antara lain adalah, nilai-nilai yang dipegang oleh para ahli teknologi kognitif, moral, ekonomi, sosial atau politis dan petunjuk-petunjuk.niali nilai teknologi yang paling dapat dipercaya; Perbandingan kemanfaatan atau biaya, kebutuhan pemasaran social lainnya.

Tecnoethics
Adalah cabang etika yang menyelidiki pokok-pokok pertikaian moral yang dihadapi oleh para ahli teknologi dan masyarakat umum dalam hubungannya dengan dampak social  dari proyek – proyek teknologi yang berskala besar.

Technopraxiologi
Adalah telaah filsafat tentang tindakan manusia yang dibimbing oleh teknologi. Persoalan yang dibahasnya, antara lain mengenai konsep tindakan rasional yang dapat diwujudkan secara pasti ata bagaimana seorang dapat ,erumuskan dalam istilah istilah umum, derajat efisiensi dari suatu sasaran terhadap suatu tujuan.

Kita bisa lebih memanfaatkan teknologi dengan benar
Filsafat Teknologi merupakan studi baru muncul secara khusus di pertengahan abad ke 20. Kajian atas teknologi berupa filsafat ini dilatarbelakangi dengan semakin berkembang pesatnya teknologi dan terus meningkatnya teknologi baik secara kualitas maupun kuantitas. Ruang lingkupnya dalam kehidupan sehari-hari cukup luas, meliputi wilayah ekonomi, sosial, hukum, moral, dan sebagainya.
Sederhananya, Filsafat Teknologi berusaha membahas dengan kritis mengenai teknologi yang ada sebagai bagian hidup kita. Teknologi dari cakupan luas sampai sempit. Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘apa teknologi itu?’, ‘apakah teknologi bisa memperbaiki kualitas hidup manusia?’, sampai yang terkenal ‘bagaimana teknologi bisa menjadi juruselamat bagi hidup manusia?’, dll.
Komputer(PC)
Komputer(PC) yang sekarang kita gunakan dirumah kita merupakan suatu teknologi yang terus dikembangkan dari dulu sampai sekarang. Komputer memiliki sejarah yang cukup panjang.  Yang populer di pasaran sekarang ini dikembangkan menjadi bentuk laptop maupun tablet. Hampir setiap orang memiliki komputer pribadi. Setiap perusahaan, kantor, sekolah, dan tempat-tempat umum lainnya menggunakan komputer sebagai perangkat pendukung. Komputer adalah teknologi mutakhir paling komplit bagi kebutuhan kita.
Komputer memiliki dua unsur utama dari sudut pandang manusia. Yaitu daya pasif dan aktifnya. Yang pertama adalah daya pasifnya. Ini adalah unsur yang penting. Komputer perlu dinyalakan dengan di tekan tombol on nya oleh manusia baru bisa menyala dan digunakan. Sebelumnya lagi, komputer harus dibuat terlebih dahulu dengan desain manusia di bagian hardwarenya sampai diproduksi oleh mesin pabrik serta dirancang program penggeraknya. Dalam hal ini man above computer.
Yang kedua adalah unsur aktifnya. Yaitu setelah komputer yang sudah jadi dinyalakan oleh manusia. Ambil contoh saja kita menyalakan komputer untuk melakukan tugas proyek. Saat kita mengetik, menggeser kursor, memblok, melukis, dan sebagainya pada komputer kita adalah kita yang aktif. Komputer yang pasif. Kita menguasai komputer. Apa yang kita pikirkan lalu kita realisasikan lewat tangan kita kepada perangkat komputer membuat komputer melakukan apa saja yang kita mau. Ini semua masih kita yang aktif. Lalu dimana letak keaktifan dari komputer?

Komputer mempraktikan unsur aktifnya kepada kita lewat kemampuan otomatisnya. Kemampuan otomatis adalah kemampuan kerja komputer untuk melakukan pekerjaan tanpa perlu kontrol penuh manusia. Contohnya adalah saat memutarkan video, musik, rekaman, menjalankan proses, melakukan perhitungan otomatis, menampilkan grafik khusus, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Unsur aktif ini tentu banyak merengut daya aktif dari manusia. Jadi saat seharusnya manusia berpikir dan menggerakan tangan dalam melakukan proses (mungkin menghitung, mengukur, menganalisa data, berspekulasi) di komputer tetapi tergantikan dengan kemampuan program komputer. Dan kita hanya menunggu proses sampai selesai atau bahkan tidak menunggu sama sekali karena pekerjaan komputer yang sangat cepat.
Jadi ada dua kutub dalam relasi manusia dengan komputer. Yaitu antara keaktifan manusia dan kepasifan komputer atau kepasifan manusia dan keaktifan komputer. Itu saja. Salah satu ada yang lebih aktif, salah satu ada yang lebih pasif.
Namun bukan berarti saat manusia aktif komputer sepenuhnya pasif atau sebaliknya. Ini masalah proses dalam komputer dan waktu yang manusia gunakan. Proses yang lazim ini saya gambarkan seperti ini: -Saya ingin mengerjakan tugas Sejarah Pemerintahan Soeharto sebanyak satu halaman. Saya menyalakan komputer saya. Mencari bahan di Google. Mengopi sebagian bahan ke Ms. Word. Mendownload video di Youtube mengenai Rezim Orba selama semenit. Kembali mengetik. Menonton video tersebut. Melanjutkan mengetik sampai selesai. Lalu mengprint dokumen tersebut.-

Pada gambaran yang saya berikan tersebut cukup membantu dalam menjelaskan bagaimana relasi antara kita sebagai pengguna dengan komputer sebagai teknologi yang dimanfaatkan. Dimana dengan keputusan saya untuk menyalakan komputer dalam memudahkan mengerjakan tugas. Mengetik tugas tersebut. Memilih referensinya. Mendownload video. Meringkas data. Menganalisa, berpikir, lalu mengetik kembali. Ini semua menunjukkan bahwa saya yang melakukan pilihan dan komputer yang saya manfaatkan. Komputer saya perintahkan lalu menurut dan menjalankan. Kebutuhan saya terpenuhi.Tugas yang saya buat cepat selesai dan lebih bagus berkat bantuan komputer. Man above computer!
Namun ada hal lain yang perlu kita perhatikan. Anggap saja saya mewakili kita semua. Saat kita menggunakan komputer untuk meringankan tugas kita atau memenuhi kebutuhan kita, ada juga saat dimana kita dikendalikan komputer. Contoh sederhananya adalah kita harus menunggu lamanya komputer itu berproses. Kita dikibuli agar sabar menunggu dengan tanda kipas angin atau loading. Lalu proses yang ingin kerjakan harus berdasar tahap-tahap yang sudah diprogram.

Data-data yang diberikan merupakan pilihan komputer sendiri yang belum tentu kita mau semua. Intinya setiap yang kita lakukan pada komputer kita seperti cara mengetik kita, cara mengerjakan tugas kita, cara mengedit gambar misalnya, mengolah data, mengunduh video, dan sebagainya adalah program komputer itu sendiri. Pilihan komputer itu sendiri dengan metodenya. Kewenangan komputer yang tidak bisa seenaknya kita utak-atik. Waktu kita dipermainkan komputer. Program itu mengendalikan kita. Membatasi kita. Memengaruhi tindakan kita dalam bekerja.
Saat kita menggunakan komputer yang kita beli sepenuhnya kita mengikuti aturan komputer itu sendiri. Waktu yang digunakan dan bagaimana kita menggunakan komputer itu sendiri tidak sepenuhnya merupakan otonomi kita, tetapi juga komputer itu. Kita ingin menyelsaikan sesuatu dengan komputer melalui langkah a-b-c, tetapi komputer berkata lain. Komputer berprogram dengan langkah a-b-d-c. Kita tidak bisa melawan, harus menurut dengan program yang sudah ada dalam komputer tersebut. Daya aktif kita terserap oleh komputer dan komputer semakin aktif saat kita semakin lama menggunakannya. Computer above man. Man above Computer? Computer realy above men?

02/07/12

Ekonomi dan Opini Publik


Kita sukar menemukan isu di dalam masyarakat yang bebas dari pengaruh faktor-faktor ekonomi. Opini dapat dibeli dan dijual, seperti halnya sepatu, beras, atau kapal. Suara pemilih dapat bernilai politik dan sekaligus bernilai ekonomi. Opini perseorangan lebih sering dipengaruhi dan ditentukan secara langsung atau tidak langsung oleh faktor ekonomi.



Hubungan antara Faktor Ekonomi dan Opini
Faktor-faktor ekonomi biasanya berkaitan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan akan barang dan jasa. Kemampuan ekonomi memengaruhi semua proses sosial, terutama yang terkait dengan pemerolehan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia.

Faktor ekonomi memengaruhi opini dan perilaku. Demikian pula faktor psikologis dan faktor kelembagaan sosial, hiburan, pendidikan, dan ideologi. Suatu kegiatan mungkin dapat terkait dengan faktor ekonomi dan sekaligus terkait faktor lainnya. Misalnya, kegiatan-kegiatan pemutaran film di bioskop menghasilkan keuntungan (ekonomi). Akan tetapi, kegiatan tersebut juga memberikan hiburan bagi seseorang atau kelompok yang pergi ke bioskop. Film bioskop merupakan sumber ekonomi bagi para artis, produser film, para manajer, pelayan yang pekerjaannya bergantung pada film. Kegiatan pendidikan yang memperoleh gelar di perguruan tinggi dapat merupakan kegiatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Tetapi, kegiatan tersebut nantinya juga menghasilkan kekuasaan politik dan keuangan.

Calvin Coolidge (1830-an), mengatakan urusan Amerika adalah urusan bisnis.  Toequeville menyatakan hasrat untuk memperoleh barang-barang yang baik dari dunia ini merupakan nafsu yang menguasai orang Amerika. Yang lain menekankan hubungan antara kekuasaan ekonomi dan kekuasaan politik. Hubungan antara kekuasaan ekonomi dan politik di Amerika telah ditinjau oleh Alpheus T. Mason, bapak pembangunan pertama yang telah mewarisi buku James Harrington. Oceana (1656) menyatakan kekuasaan senantiasa mengiringi kekayaan. "Saya percaya hal ini," kata John Adam. Siapa saja yang memiliki kekuatan ekonomi akan memiliki kekuatan politik. Organisasi ekonomi dalam masyarakat mampu menjamin kehidupan politik pemerintah yang berkuasa, melalui perantara keluarga atau lembaga sosial lainnya.


Prestasi Ekonomi Orde Baru
Pada era Orde Baru, pembangunan ekonomi tumbuh dengan pesat dan merupakan target penguasa pada waktu itu. Memang diakui pembangunan ekonomi dapat dirasakan oleh rakyat banyak. Hasil kegiatan pembangunan ini dapat diterima oleh masyarakat. Prestasi ekonomi tersebut mampu melanggengkan penguasa pemerintahan. Tetapi, prestasi ekonomi tersebut lama-kelamaan diikuti dengan semakin keroposnya moral bangsa. Buktinya, “korupsi” bukan lagi perbuatan yang memalukan.

Teoritis kontrak-sosial, Hobbes, Locke, Rousseau, adalah orang yang pertama melebih-lebihkan ketergantungan politik pada ekonomi. Demikian halnya kaum Marxis setelah tahun 1930, Charles A. Beard dan Harold Laski menyatakan adanya ketergantungan politik pada ekonomi. Akan tetapi mereka belum bersedia membenarkan batas-batas teori yang membuat sifat ingin memperoleh kekayaan menjadi pendorong utama produksi maupun pemerintahan.

Mulai dari Marchiavelli sampai Harold Lasswell, masa yang cukup panjang bagi masyarakat Barat tanpa memahami hubungan antara ekonomi dan politik. Banyak pemikir politik di setiap zaman yang menolak pandangan sederhana yang diberikan oleh Adam Smith dan Karl Marx. Tetapi, catatlah kecenderungan politik dan ekonomi - yaitu ekonomi politik - dari periode timbul, berkembangnya, dan menuanya kapitalisme. Kecenderungan yang dimaksud melupakan fakta yang dasar, yang dilihat oleh Machiavelli dengan jelas dan Lasswell melihatnya kembali dengan jelas pula, bahwa politik adalah perjuangan untuk memeroleh kekayaan dan bentuk lain kekuasaan. Menurut Machiavelli, bila manusia tidak lagi wajib berjuang karena terpaksa, mereka berjuang karena ambisi dan nafsu untuk berkuasa. Manusia memang diciptakan untuk menghendaki segala-galanya, tidak pernah merasa puas dengan apa yang mereka miliki, tetapi tidak selalu dapat mencapainya.


Kehormatan dan Harta-Benda
Kehormatan dan harta benda sama-sama penting. Seperti para pengusaha Amerika abad ke-19, Marx sulit memilih di antara keduanya. Secara sadar mereka lebih banyak menyukai kehormatan daripada harta-benda. Manusia setiap hari memberikan harta-bendanya untuk bantuan kemanusiaan dan berbagai macam tujuan non-ekonomis. Akan tetapi, orang kadang-kadang mencari kekayaan untuk mendapatkan tujuan non-fisik. Seperti dikemukakan oleh Hagen, unsur psikologis dan sosial lebih penting daripada pertumbuhan ekonomi. Bahkan masyarakat yang perekonomiannya paling marginal/kecil dan primitif sekalipun, sebagian kekayaan mereka digunakan untuk tujuan keagamaan yang non-produktif.

Machiavelli berpandangan para penguasa Renaissance Italia mempunyai hasrat mencari kekayaan yang sama besarnya dengan mencari kekuasaan. Dari pengamatan ini lahir generalisasinya bahwa "seseorang akan merasa lebih ringan kehilangan orang tuanya daripada kehilangan harta benda warisannya." Marx membina teori yang dengan tegas menyatakan, kaum kapitalis sebagai perseorangan maupun sebagai kelas didorong semata-mata oleh pertimbangan ekonomi.

Bila opini publik mulai muncul, dan bila hal tersebut menjadi penting dalam menentukan kebijakan, maka paling tidak terdapat pengetahuan yang terbatas mengenai distribusi opini berdasarkan tingkat sosial, pekerjaan, dan pendapatan.

Kebudayaan politik Amerika menghargai kerja keras, hemat, mengagungkan milik pribadi dan kecurigaan terhadap perusahaan pemerintah. Hak perseorangan dilindungi untuk mendapatkan apa yang telah diusahakannya atau sekadar memiliki dan menikmati keuntungan dari apa yang mereka miliki. Tidak menjadi soal apakah mereka telah berusaha untuk itu atau tidak. Kekuatan dan keluasaan pandangan yang demikian berarti pemilik kekayaan pribadi diberi kedudukan politik yang lebih tinggi di Amerika, terlepas dari apakah hak milik tersebut kepunyaan perseorangan ataupun badan hukum.

Iklan dianggap sangat baik bagi masyarakat dan alat ini merupakan alat yang setia dari perusahaan Amerika. Greyser dan Bauer menyimpulkan selama studi mereka 10 tahun (1946-1964) secara kasar bahwa tiga perempat masyarakat Amerika memandang iklan sebagai sarana ekonomi yang sangat penting yang memberikan sumbangan ekonomi tertentu, khususnya dalam bentuk standar hidup yang membaik.


Status Ekonomi dan Opini
Apakah faktor-faktor ekonomi dan kelas ekonomi berkaitan dengan kepercayaan mengenai demokrasi? Ada teori yang mengatakan bahwa orang-orang yang sangat kaya dan yang sangat miskin kurang tertarik pada pandangan-pandangan demokrasi dibandingkan dengan mereka yang berpenghasilan menengah. Teori-teori tersebut mengandalkan kriteria stratifikasi kelas yang lebih rumit, bukannya sekadar pada pendapatan ekonomis semata. Tetapi dimensi ekonomi pada kelas sosial tidak dapat dipungkiri bersifat dasar, tidak peduli dimensi itu apakah dikualifikasikan oleh variabel-variabel sosial dan psikologi lainnya.

Faktor-faktor ekonomi saja kelihatannya hanya mempunyai pengaruh yang kecil atas opini dan perilaku anti-demokrasi atau pro-demokrasi. Mereka yang sangat miskin mungkin karena kemiskinannya terpaksa mencurahkan perhatiannya ke kegiatan ekonomi dan menyampingkan demokrasi. Lipset menyadari bahwa gerakan yang ekstrem dan tidak toleran dalam masyrakat modern kemungkinan hanya dilakukan oleh kelas rendah daripada oleh kelas menengah dan atas. Analisis Grah membenarkan pandangan ketidak-toleran sebagai komponen sentral ototarisme, lebih tinggi di kalangan kelas pekerja daripada di kalangan white-collar/penjualan, manajer, atau orang-orang Amerika yang profesional.

Faktor ekonomi seseorang berkaitan dengan keaktifan dan ketidakaktifan orang tersebut di bidang politik. Faktor ekonomi merupakan variabel yang penting, sekalipun perannya berada di antara variabel-variabel non-ekonomis, seperti pendidikan dan keanggotaan kelompok. Eulau dan Schneider mendapatkan bukti bahwa pendapatan dan faktor ekonomi lain tidak begitu penting dibandingkan dengan pendidikan pada studi keterlibatan politik. Devine setelah menemukan variabel demografis yang berkaitan dengan tingkat perhatian (ukuran yang memerhatikan pengetahuan tertentu) setuju bahwa faktor yang paling penting terhadap keaktifan seseorang di bidang politik adalah pendidikan, kemudian pendapatan, selanjutnya pekerjaan, jenis kelamin, ras, dan umur.

Faktor-faktor psikologi berkaitan dengan citra-diri, pandangan terhadap dunia, dan keberhasilan atau kegagalan dalam proses penyesuaian kepribadian dan lingkungan. Pengaruh faktor ekonomi atas opini kemungkinan dipengaruhi juga oleh faktor psikologis. Sekilas terdapat faktor psikologis yang ditemukan Lane (1954) dalam studinya mengenai pengusaha dan pekerja. Dahl mengihtisarkan contoh bagaimana kekuatan-kekuatan psikologis lebih dominan daripada faktor-faktor ekonomi terhadap opini tentang persoalan politik tertentu.

Studi mengenai opini terhadap anggota dan bukan anggota serikat pekerja menunjukkan dampak keanggotaan kelompok pada pengubahan pandangan yang dianggap mempunyai sumber ekonomi yang penting. Mengapa faktor ekonomi tidak sejalan dengan opini politik? Kenyataannya partai politik di Amerika Serikat bukanlah partai ideologi yang didasarkan pada kelas ekonomi, sejarah partai, struktur pemerintahan, dan masyarakat. Bahkan perseorangan di AS mengutamakan opini publik yang merupakan aspirasi kelompoknya daripada faktor ekonomi. Dalam beberapa hal ekonomi memberikan tekanan pada politik, sementara opini politik ditentukan oleh pendapatan seseorang. Tetapi, dalam kebanyakan hal yang menyangkut persoalan umum, hubungan antara ekonomi dan politik sangat sulit dicermati dan banyak terjalin dengan faktor sosial dan psikologis lainnya.***

01/07/12

Motivasi dan Kepemimpinan


Arti Penting Motivasi
Istilah motivasi merujuk kepada kondisi dasar yang mendorong tindakan. Satu perangkat teori menganggap kekurangan kebutuhan sebagai kondisi pendorong yang menimbulkan predisposisi tertentu untuk berperilaku. Sementara teori lain menganggap harapan dalam lingkungan menimbulkan bentuk-bentuk tujuan tertentu dan tindakan yang akan mengikutinya.

Perilaku manusia sebenarnya adalah cerminan sederhana dari motivasi dasar mereka. Motivasi berasal dari kata "to move" yang artinya menggerakkan, sehingga motivasi kemudian dapat didefinisikan sebagai berikut:
  1. Keadaan seseorang yang mendorong manusia untuk melakukan kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan.
  2. Semua kekuatan yang ada dalam diri seseorang yang memberi daya, arah dan memelihara tingkah lakunya.


Motivasi internal (dari dalam diri)
(1) Fisiologis; motivasi alamiah (lapar, haus, dan lain-lain)
(2) Psikologis; ada 3 kategori dasar :
  • kasih sayang → untuk menciptakan kehangatan, harmonis, kepuasan dalam berhubungan dengan orang lain
  • mempertahankan diri → untuk melindungi kepribadian, menghindari luka fisik dan psikologis, menghindari rasa malu dan ditertawakan, gengsi, dan lain-lain 
  • memperkuat diri → mengembangkan kepribadian, berprestasi, mendapat pengakuan, dan lain-lain.

Motivasi eksternal (dari luar)
Kekuatan-kekuatan individu yang dipengaruhi faktor ekternal seperti suasana kerja, kebijakan perusahaan, hubungan kerja,  dan lain-lain. Motivasi positif memberikan penghargaan pada pekerjaan yang baik, dan motivasi negatif memberikan hukuman bila pelaksanaan kerja buruk. Motivasi eksternal tidak dapat dipisahkan daei motivasi internal.

Pemberian motivasi dalam perusahaan biasanya bertujuan untuk :
  1. mengubah perilaku sesuai dengan  keinginan organisasi
  2. meningkatkan gairah dan semangat
  3. meningkatkan disiplin
  4. meningkatkan prestasi
  5. mempertinggi moral
  6. meningkatkan rasa tanggungjawab
  7. meningkatkan produktivitas dan efisiensi
  8. meningkatkan loyalitas


Definisi motivasi
A set of energetic forces that originates both within as well as beyond an individual being, to initiate work-related behaviour, and to determine its form, direction, intensity, and duration (Pinder, dalam Donovan, 2001, p.53).

Motivasi adalah sekelompok pendorong yang mempunyai ciri-ciri; (1)  berasal baik dari dalam maupun dari luar individu; (2) dapat menimbulkan perilaku bekerja; dan (3) menentukan bentuk, tujuan, intensitas, dan lamanya perilaku bekerja tadi.

Dalam lingkup Psikologi Organisasi, ada beberapa teori mengenai motivasi. Masing-masing teori berusaha menerangkan hal-hal apa yang dapat memotivasi karyawan dalam suatu organisasi untuk bekerja lebih optimal. Di bawah ini akan dibahas beberapa dari teori-teori tersebut.


Organizational Justice (Keadilan Organisasi)
Karyawan yang bekerja di sebuah organisasi akan berharap bahwa organisasi tersebut akan memperlakukan mereka dengan adil. Dalam artikel ini, dua sudut pandang mengenai keadilan akan digunakan:

Equity Theory (Adams, dalam Donovan, 2001), karyawan menganggap partisipasi mereka di tempat kerja sebagai proses barter, di mana mereka memberikan kontribusi seperti keahlian dan kerja keras mereka, dan sebagai gantinya mereka mengharapkan hasil kerja baik berupa gaji ataupun pengakuan. Di sini, penekanannya adalah pada persepsi mengenai keadilan antara apa yang didapatkan karyawan relatif terhadap apa yang mereka kontribusikan.

Cara lain untuk melihat Keadilan Organisasi adalah melalui konsep Procedural Justice. Di sini, penekanannya adalah apakah prosedur yang digunakan untuk membagikan hasil kerja pada para karyawan cukup adil atau tidak (Donovan,2001).


Job Characteristic Model dan Goal Setting (Model Karakteristik Pekerjaan dan Penetapan Target)
Teori ini  menjelaskan bahwa motivasi yang tinggi dapat diraih melalui karakteristik dari pekerjaan itu sendiri (Judge et al, 2001). Karakteristik pekerjaan yang dianggap paling penting untuk memotivasi karyawan adalah task identity (identitas tugas), task significance (signifikansi tugas), skill variety (variasi keahlian), autonomy (otonomi),

Contoh Kasus: Di sebuah pabrik pengalengan soda yang menggunakan sistem ban berjalan, banyak pekerjaan tidak memenuhi persyaratan karakteristik seperti yang disebutkan di atas. Misalnya, sekelompok pekerja hanya diberi tugas menjalankan mesin pengisi kaleng. Karakteristik pekerjaan mereka sebagai pengisi kaleng soda adalah sebagai berikut:
  • Task identity (identitas tugas): Karena pekerja hanya bertugas mengisi kaleng, mereka tidak dapat melihat keseluruhan proses kerja mulai dari awal (ketika kaleng-kaleng kosong diantarkan ke pabrik) hingga akhir (ketika dus-dus berisi soda kaleng diangkat ke truk, siap diantarkan).
  • Task significance (signifikansi tugas): Para pekerja bisa jadi merasa bahwa pekerjaan mereka tidaklah penting, karena mereka tidak bisa melihat bagaimana pekerjaan mereka pada akhirnya mempengaruhi karyawan lain di perusahaan tersebut atau pembeli soda kaleng.
  • Skill variety (variasi keahlian): Pekerjaan ini hanya membutuhkan satu jenis keahlian, yaitu mengisi kaleng soda.
  • Autonomy (otonomi): Para pekerja tidak memiliki pilihan atau kontrol dalam pekerjaan mereka karena mereka harus terus mengisi kaleng yang datang dari ban berjalan.
  • Feedback (umpan balik): Para pekerja tidak mendapatkan umpan balik sehingga mereka tidak mengetahui apakah mereka telah bekerja dengan baik atau tidak.

Dalam situasi seperti ini, para pekerja tidak mempunyai alasan untuk merasa antusias, termotivasi, atau merasa puas akan pekerjaan mereka. Perbedaan individual tetaplah mempengaruhi sehingga ada orang yang tidak terlalu peduli pada karakteristik dari pekerjaan mereka. Namun penelitian menunjukkan bahwa karakteristik intrisik pekerjaan tetap memiliki korelasi dengan kepuasan kerja, bahkan bagi mereka yang tidak terlalu menginginkan pertumbuhan diri pribadi (Judge et al, 2001).

Selain karakteristik pekerjaan itu sendiri, aspek lain dari tempat kerja yang dapat mempengaruhi motivasi adalah Goal Setting (Penetapan Target). Menurut prinsip Penetapan Target, karyawan akan termotivasi untuk mencapai hasil kerja yang lebih tinggi jika mereka memiliki target yang spesifik (Locke & Latham, dalam Donovan, 2001).


Expectancy Theory (Teori Harapan)
Menurut Vroom (dalam Donovan, 2001), orang termotivasi untuk melakukan perilaku tertentu berdasarkan tiga persepsi:
  • Expectancy: seberapa besar kemungkinan jika mereka melakukan perilaku tertentu mereka akan mendapatkan hasil kerja yang diharapkan (yaitu prestasi kerja yang tinggi)
  • Instrumentality: seberapa besar hubungan antara prestasi kerja dengan hasil kerja yang lebih tinggi (yaitu penghasilan, baik berupa gaji ataupun hal lain yang diberikan perusahaan seperti asuransi kesehatan, transportasi, dsb) 
  • Valence: seberapa penting si pekerja menilai penghasilan yang diberikan perusahaan kepadanya

Teori Hirarki Kebutuhan Maslow.
Maslow’s hierarchy of needs adalah teori motivasi yang mengatakan orang termotivasi untuk memenuhi lima tipe kebutuhan yang dapat dibuat peringkatnya dalam suatu hirarki. Teori yang dikembangkan oleh Abraham Maslow lebih mendapat perhatian dari para manajer daripada teori motivasi yang lain. Maslow memandang motivasi manusia dimulai dengan kebutuhan fisik, yang paling mendasar sampai kebutuhan tertinggi yaitu aktualisasi diri. Menurut Maslow  individu akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan yang paling kuat, setiap kebutuhan harus dipuaskan yang dimulai dari kebutuhan yang paling rendah sebelum individu tersebut mempunyai keinginan untuk memuaskan kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi berdasarkan tingkat hirarki kebutuhan.

Hierarki Kebutuhan Maslow














(Baca dari bawah ke atas)
  • Kebutuhan aktualisasi  diri
  • Kebutuhan Harga Diri (tanggung jawab pekerjaan, promosi dll)
  • Kebutuhan Sosial (Rekan dan Manajer yang baik dll)
  • Kebutuhan Keamanan (jaminan pekerjaan, peraturan yang jelas dll)
  • Kebutuhan Fisiologi  (makan, minum, upah, jam kerja, istirahat dll)

Teori Maslow menjelaskan tentang kebutuhan yang ingin dipenuhi setiap individu yang akan menjadi motivasi seseorang untuk melakukan pekerjaan dalam organisasi, yang dimulai dari upah yang cukup untuk membeli makanan dan minum, tempat berteduh, waktu istirahat yang cukup dan lingkungan kerja yang aman dan nyaman. Kebutuhan rasa aman dapat dipenuhi dengan adanya jaminan atas pekerjaan, tindakan yang adil dan baik serta peraturan dan prosedur yang jelas. Kemudian kebutuhan sosial akan menjadi motivasi berikut yang dapat diperoleh dengan adanya kondisi persahabatan dari rekan kerja dan manajer maupun kesempatan menjalin hubungan dengan kelompok dalam organisasi. Kebutuhan yang meningkat diperoleh melalui adanya kesempatan untuk berkembang yang akan mendorong harga diri dan rasa memiliki yang menjadi motivasi individu untuk bekerja dengan baik. Kebutuhan tertinggi adalah aktualisasi diri. Individu yang mencari makna dan perkembangan probadi dalam pekerjaan mereka dan mencari tanggung jawab baru serta mengembangkan kreatifitas dan tindakan inovatif untuk mencapai sasaran pribadi dan organisasi.


Teori ERG
ERG Theory adalah teori motivasi yang mengatakan bahwa orang berusaha keras untuk memenuhi hierarki kebutuhan tentang keberadaan, hubungan dan pertumbuhan  bila usaha untuk salah satu tingkat kebutuhan mengalami frustasi orang tersebut akan merosot ke tingkat yang lebih bawah. Teori ERG dikemukan oleh Clayton Alderfer, memecahkan kebutuhan menjadi tiga yaitu Existence (eksistensi), keinginan akan kesejahteraan fisiologi dan material. Rellatednes (keterkaitan), keinginan untuk memuaskan hubungan antar pribadi. Growth (pertumbuhan), kebutuhan akan kreatifitas pribadi. Aldefer menyatakan bahwa kalau kebutuhan yang lebih tinggi mengalami kekecawaan , kebutuhan yang lebih rendah akan kembali, walaupun sudah terpuaskan.

Teori dua faktor
Two Factory Theory adalah teori motivasi yang menyatakan bahwa ketidakpuasan dan kepuasan muncul dari dua faktor yang berbeda. Teori yang dikemukan oleh Frederick Herzberg merupakan kerangka kerja lain untuk memahami implikasi-implikasi motivasional dari lingkungan kerja. Herzberg menyimpulkan bahwa ketidakpuasan kerja dan kepuasan kerja muncul dari dua set faktor yang terpisah.

Faktor penyebab ketidakpuasan (factor hygiene) termasuk gaji, kondisi kerja dan kebijakan perusahaan, kualitas teknis dari pengawasan – faktor yang berkaitan dengan pengaturan atau kondisi tempat bekerja. Faktor yang paling penting adalah kebijakan perusahaan, yang dinilai sebagai penyebab utama ketidakefisienan dan ketidakefektifan kerja. Sehingga penilaian positif pada faktor-faktor tersebut tidak menyebabkan kepuasan kerja melainkan hanya sebagai menghilangkan ketidakpuasan.

Faktor penyebab kepuasan (faktor memotivasi) termasuk prestasi, pengakuan, tanggung jawab dan kemajuan, yang berkaitan dengan isi pekerjaan dan imbalan prestasi kerja yang dirasakan dalam diri pribadi seseorang. Berdasarkan teori ini penting bagi manajer untuk memahami perbedaan antara manusia terhadap kebutuhan yang bervariasi untuk berusaha mengurangi atau mengkoreksi faktor penyebab ketidakpuasan dan berusaha membangun faktor pemuas ke dalam diri karyawan guna memaksimalkan kesempatan untuk kepuasan karyawan.

Teori Tiga Kebutuhan McClelland
Bersama dengan kawan-kawannya, McClelland melalui penelitian dengan  menggunakan Thematic AppreciationTest (TAT) meminta karyawan untuk melihat gambar dan menulis cerita tentang apa yang mereka lihat. Cerita dianalisis dan diidentifikasikan tiga macam kebutuhan yang menjadi titik pusat motivasi, yaitu kebutuhan berprestasi (need for achievement) merupakan keinginan untuk melakukan dengan lebih baik atau lebih efisien untuk memecahkan masalah atau mengutamakan tugas-tugas yang kompleks. Kebutuhan kekuasaan (need for power) adalah keinginan untuk mengendalikan orang lain, mempengaruhi perilaku mereka atau menjadi bertanggung jawab untuk mereka. Kebutuhan berafiliasi (need for affiliation) adalah keinginan untuk membentuk dan mempertahankan hubungan yang hangat dan  bersahabat dengan orang lain. Teori ini menekankan kepentingan penyesuaian antara karyawan dengan pekerjaan.

Teori Penguatan.
Reinforcement theory adalah pendekatan pada motivasi berdasarkan hukum pengaruh, ide bahwa tingkah laku dengan konsekuensi positif cenderung untuk diulang sementara tingkah laku dengan konsekuensi negatif cenderung untuk tidak diulang. B.F. Skinner dan teman-teman menunjukkan bagaimana konsekuensi tingkah laku di masa lampau mempengaruhi tindakan pada masa depan dalam proses belajar. Proses ini dinyatakan sebagai berikut :

Rangsangan  → Respon  → Konsekuensi → Respon masa depan

Dalam pandangan ini tingkah laku seseorang (respon) terhadap situasi (rangsangan) tertentu merupakan penyebab dari konsekuensi tertentu, bila konsekuensi positif pada masa depan orang itu cenderung memberikan respon serupa dalam situasi serupa. Bila respon tidak menyenangkan orang cenderung akan merubah tingkah lakunya untuk menghindari konsekuensi itu. Skinner mengemukakan konsep Modifikasi tingkah laku utnuk mengubah tingkah laku manusia dalam organisasi. 

Terdapat empat metode umum untuk memodifikasi tingkah laku sebagi berikut :
  1. Penguatan Positif ( positive reinforcement)., tingkah laku yang diinginkan didorong atau dikuatkan dengan konsekuensi positif seperti kenaikan gaji, pujian dll. misal seorang manajer memuji bawahan yang membuat komentar bermanfaat selama rapat staf.
  2. Belajar menghindar (avoidance learning), proses belajar yang terjadi ketika seseorang  merubah tingkah laku untuk menghindari keadaan yang tidak menyenangkan. seperti kritik  atau evaluasi jelek. Misal bawahan yang sering terlambat mendapat teguran berubah menjadi bawahan yang datang tepat waktu.
  3. Pemadaman (extinction), mengurangi fekuensi untuk tingkah laku yang tidak dikehendaki sehingga pada akhirnya tingkah laku berhenti muncul. Misalnya manajer mengabaikan karyawan yang bergurau dalam rapat.
  4. Hukuman (punishment), penerapan konsekuensi negatif untuk menghentikan atau mengkoreksi tingkah laku yang tidak dikehendaki. seperti hukuman kritik, mengurangi gaji, PHK dll terhadap tingkah laku yang tidak dikehendaki.

Faktor yang Mempengaruhi Motivasi
Banyak faktor yang mempengaruhi motivasi, baik faktor internal maupun faktor eksternal. 
Berikut ini faktor-faktor internal yang mempengaruhi motivasi:
  1. Kematangan pribadi. Semakin matang seseorang akan makin matang pemikiran yang dimiliki. Hal ini juga akan mempengaruhi konsepnya dalam meraih keinginannya, oleh karenanya motivasi yang dimilikinya akan digerakkannya menuju hal yang ingin diraihnya. Apalagi jika pengalaman telah membuatnya banyak belajar.
  2. Tingkat pendidikan. Tidak dapat dipungkiri, tingkat pendidikan akan mempengaruhi seseorang untuk mengkondisikan dan memanage keinginan yang ada, sehingga berhasil dia raih. Tingkat pendidikan seseorang membantu mempersingkat pengalaman yang mungkin belum kompleks dimiliknya, karena pendikan telah membantunya belajar mengarahkan motivasi yang menguntungkan dirinya.
  3. Pemenuhan dan harapan. Setiap orang punya harapan terhadap sesuatu. Ketika kita memiliki keinginan, maka kita akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan atau memenuhi harapan tersebut. Motivasi tentu saja menjadi faktor yang membuat kita bergerak memenuhi harapan yang kita dambakan.
  4. Kebutuhan. Manusia tidak pernah merasa puas terhadap apa yang dimilikinya. Latar belakang kebutuhan, yang harus dipenuhinya,  akan mempengaruhi motivasi seseorang.
  5. Kelelahan dan kebosanan. Kelelahan, kebosanan dan rutinitas adalah beberapa hal yang akan menurunkan motivasi seseorang. Agar motivasi tetap tinggi sehingga bersemangat untuk bergerak melakukan sesuatu sehingga keinginannya terpenuhi, maka harus menjauhi diri dari kelelahan dan kebosanan serta rutinitas.  Jaga kondisi sehingga tidak terlalu lelah, jangan melakukan hal yang sama setiap hari, buat sesuatu yang berbeda adalah salah satu cara menghilangkan kelelahan dan kebosanan atas rutinitas yang dilakukan seseorang.
  6. Kepuasan kerja. Terakhir yang mempengaruhi motivasi seseorang adalah kepuasan kerja yang ingin dicapai. Selain memenuhi kebutuhan dan keinginannya, kepuasan kerja adalah salah satu hal penting yang memotivasi seseorang untuk tetap berusaha.

Sedangkan Faktor eksternal yang mempengaruhi motivasi adalah sebagai berikut :
  1. Lingkungan kerja yang menyenangkan. Lingkungan kerja yang menyenangkan akan sangat mempengaruhi motivasi seseorang. Jika lingkungan kerja seseorang tidak menyenangkan orang akan malas ke tempat kerja, tidak ada motivasi untuk bekerja.
  2. Kompensasi yang memadai. Kompensasi yang memadai dan sesuai dengan jumlah tenaga dan pikiran yang kita keluarkan akan membuat motivasi seseorang meningkat. Apalagi jika kompensasinya jauh diatas yang kita harapkan. 
  3. Supervisi yang baik. Pemimpin atau pengarah (supervise) yang baik dan penuh pengertian, memberikan kepercayaan pada bawahan, menghargai bawahan adalah pimpinan yang diharapkan oleh bawahan. Jika pimpinan baik ini mereka miliki, motivasi dalam bekerja akan meningkat. Selain itu sudah menjadi tugas pimpinan lah untuk meningkatkan motivasi pegawai. 
  4. Penghargaan atas prestasi. Penghargaan atas prestasi kerja karyawan juga merupakan salah satu yang bias mempengaruhi meningkatnya motivasi pegawai. Penghargaan ini tidak selalu harus dalam wujud materi, namun bisa dengan cara lain. 
  5. Status dan tanggungjawab. Status dan tanggungjawab yang diemban seseorang juga bisa menjadi motivator seseorang. Status yang dimiliki dalam organisasi menyebabkan seseorang punya tanggungjawab yanng berbeda. Status seseorang juga menunjukkan gengsi yang dia miliki. Semakin tinggi status seseorang, maka tanggungjawabnya akan makin besar. Semakin tinggi status seseorang dalam organisasi juga menunjukkan makin tinggi jabatan yang dia miliki. 
  6. Peraturan yang berlaku. Aturan yang mendukung dan mempermudah anggota organisasi berkembang didalam organisasi, membuat motivasi seseorang akan meningkat.

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memotivasi :

  • Memahami perilaku yang akan dimotivasi
  • Memberikan motivasi harus mengacu pada yang akan dimotivasi
  • Memahami kebutuhan setiap orang
  • d. Mampu menjadi contoh
  • Mampu menggunakan keahlian (memberi solusi secara teknis)
  • Mampu berbuat realistis


Kepemimpinan 
Ketika kita membicarakan tentang kepemimpinan, banyak orang menyamaartikan kepemimpinan dengan manajemen. Menurut Kotter, kepemimpinan berbeda dengan manajemen. Manajemen merupakan proses mengatasi kerumitan (manajemen yang baik menghasilkan tatatertib, konsistensi dengan menyusun rencana-rencana formal, merancang struktur organisasi yang ketat,dan lain-lain). kepemimpinan menyangkut kemampuan mengatasi perubahan. 

Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kepemimpinan pada dasarnya berarti kemampuan untuk memimpin; kemampuan untuk menentukan secara benar apa yang harus dikerjakan. Menurut Gibson (1998), kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, yang dilakukan melalui hubungan interpersonal dan proses komunikasi untuk mencapai tujuan. Newstrom & Davis (1999) berpendapat bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mengatur dan membantu orang lain agar bekerja dengan benar untuk mencapai tujuan. Sedangkan Stogdill (1999) berpendapat bahwa kepemimpinan juga merupakan proses mempengaruhi kegiatan kelompok, dengan maksud untuk mencapai tujuan dan prestasi kerja. 
Jadi dari rumusan pemimpin di atas dapat diambil garis besarnya bahwa kesemuanya menunjukkan bahwa kepemimpinan merupakan suatu kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainya tujuan. 

Sumber dalam kepemimpinan itu bisa formal. Dalam posisi manajemen muncul suatu tingkat kewenangan yang dirancang secara formal, seseorang dapat menjalankan peran pemimpin karena kedudukannya dalam organisasi.

John P Kotter mendidentifikasi tugas prisipil kepemimpinan adalah sebagai berikut : 

  1. Establishing direction, developing a vision and strategies for the future of the business; 
  2. Aligning people - getting others to ‘understand, accept and line up in the chosen direction’, dan
  3. Motivating and inspiring people by appealing to very basic but often untapped human needs, value and emotions. 

Pada lain pihak, Kotter pun mendefinisikan empat peran manajemen sebagai berikut : 

  1. Planning and budgeting, setting short-to medium-term targets; 
  2. Establishing steps to reach them and allocating resources; 
  3. Organizing and staffing, establishing an organizational structure to accomplish the plan, staffing the jobs; communicating the plan, delegating responsibility and establishing systems to monitor implementatio; dan 
  4. Controlling and problem solving, monitoring results, identifying problems and organizing to solve them.

Teori-teori Kepemimpinan
Beberapa teori yang dikemukakan dalam modul ini adalah :

TEORI KARAKTER
Pada teori ini salah satu yang bisa dijadikan contoh karena karakter yang dimilikinya membawanya menjadi perdana menteri terkenal di Inggris adalah Margareth Theacher. Dari diri beliau bisa dilihat percaya dirinya, tekad baja dan tegas. Kesemuanya ini dipilih karena kepemimpinannnya. Diyakini untuk menjelaskan itu karena adanya teori karakter pemimpin. Teori ini mencari karakter kepribadian, sosial, fisik atau intelektual yang membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin. 

TEORI PERILAKU
Ketidakmampuan memperoleh penjelasan atau kepuasan menjelaskan kepemimpinan dari karakter, mendorong pengamat perilaku untuk meneliti perilaku yang khas dari pemimpin. Teori perilaku kepemimpinan mengemukakan bahwa perilaku spesifik membedakan pemimpin dari yang bukan pemimpin.
Perbedaan mendasar dari teori ini dibanding teori karakter adalah teori karakter bisa jadi memandang seseorang bisa memimpin karena pembawaan sejak kecil, kalau teori perilaku melihat pemimpin dari sudut perilaku yang spesifik, sehingga kita bisa mengajarkan program-program untuk menanamkan perilaku-perilaku tertentu pada individu yang berhasrat menjadi pemimpin yang efektif. 
Ada beberapa universitas yang melakukan telaah tentang perilaku-perilaku kepemimpinan; antara lain :
  • Telaah Universitas Ohio (penelitian diperoleh dari perilaku pemimpin yang digambarkan bawahan)
  • Telaah Universitas Michigan (dilihat dari keefektifan kinerja)

TEORI KEMUNGKINAN
Menjadi makin jelas bagi mereka yang sedang mempelajari fenomena kepemimpinan bahwa meramalkan sukses kepemimpinan lebih rumit daripada memisahkan beberapa karakter atau perilaku yang lebih disukai.
Kegagalan untuk memperoleh hasil yang konsisten mendorong perhatian pada pengaruh situasional. Kondisi a gaya x akan memadai, atau gaya yang lebih cocok untuk kondisi b, dan lain-lain.
Salah satu pengikut atau masuk dalam kategori teori ini adalah teori situasional Hersey dan Blanchard. Teori ini merupakan teori kemungkinan yang memusatkan perhatian pada pengikut. Kepemimpinan yang berhasil dicapai dengan memilih gaya kepemimpinan yang tepat menurut argumen Hersey dan Blanchard bersifat tergantung pada tingkat kesiapan/kedewasaaan para pengikutnya. Tekanan pada pengikut dalam keefektifan pemimpin mencerminkan kenyataan bahwa merekalah yang menerima baik atau menolak pemimpin. 


PENDEKATAN TERBARU TERHADAP KEPEMIMPINAN
Penelitian terhadap kepemimpinan tidak pernah surut, oleh karenanya banyak perdekatan baru dalam kepemimpinan. Beberapa pendekatan terbaru yang bisa disampaikan adalah sebagai berikut :

1. TEORI ATRIBUSI KEPEMIMPINAN
Teori Atribusi mengatakan bahwa kepemimpinan adalah sekedar suatu atribusi (penghubung) yang dibuat orang mengenai individu-individu yang lain. Dengan menggunakan kerangka atribusi para pemimpin menyandang karakteristik yang menonjol seperti kecerdasan, kepribadian, ramahtamah, ketrampilan verbal yang kuat, keagresifan, pemahaman dan kerajinan.  Hal yang menarik dalam teori ini adalah persepsi bahwa pemimpin efektif umumnya konsisten dan tidak goyah dalam keputusan mereka 

2. TEORI KEPEMIMPINAN KARISMATIK
Teori ini merupakan suatu pengembangan dari teori atribusi. Teori ini mengemukakan bahwa pengikut membuat atribusi dan kemampuan dari kepemimpinan yang heroik atau luar biasa bila mereka mengamati perilaku-perilaku tertentu.  Telaah mengenai kepemimpinan karismatik diarahkan pada perilaku-perilaku yang membedakan pemimpin karismatik dengan pemimpin non karismatik. Beberapa contoh pemimpin karismatik seperti Bung Karno, John F Kennedy, Martin Luther, dan lain sebaginya. 
Robert House mencoba mengidentifikasi karakterisitik pribadi pemimpin karismatik, yaitu dalam 3 hal; (1) kepercayaan diri yang luar biasa tinggi, (2) kekuasaan dan (3) teguh dalam keyakinan.

3. KEPEMIMPINAN TRANSAKSIONAL VERSUS TRANSFORMASIOAL
Pemimpin Transaksional, merupakan pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikut mereka dalam arah tujuan yang ditegakkan dengan memperjelas dan tuntutan tugas. Pemimpin Transformasional merupakan kepemimpinan yang memberikan pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan yang memiliki karisma.

4. KEPEMIMPINAN VISIONER
Kepemimpinan Visioner merupakan kemampuan untuk menciptakan dan mengartikulasikan suatu visi yang realistik, dapat dipercaya, atraktif tentang masa depan bagi suatu organisasi atau unit organisasional yang terus tumbuh dan meningkat sampai saat ini.


KOMPETENSI KEPEMIMPINAN 
Konsep mengenai kompetensi untuk pertamakalinya dipopulerkan oleh Boyatzis (1982) yang didefinisikan kompetensi sebagai “kemampuan yang dimiliki seseorang yang nampak pada sikapnya yang sesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkungan organisasi dan memberikan hasil yang diinginkan”. 
Menurut Rotwell, kompetensi adalah an area of knowledge or skill that is critical for production ke outputs. Lebih lanjut Rotwell menuliskan bahwa competencies area internal capabilities that people brings to their job; capabilities which may be expressed in a broad, even infinite array of on the job behaviour.  Spencer (1993) berpendapat, kompetensi adalah “… an underlying characteristic of an individual that is causally related to criterion referenced effective and/or superior performance in job or situation”. Senada dengan itu Zwell (2000) berpendapat “Competencies can be defined as the enduring traits and characteristics that determine performance. Examples of competencies are initiative, influence, teamwork, innovation, and strategic thinking”. 

Beberapa pandangan di atas mengindikasikan bahwa kompetensi merupakan karakteristik atau kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. 
Selain traits dari Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi lainnya, yatu berupa motives, self koncept (Spencer, 1993), knowledge, dan skill ( Spencer, 1993; Rothwell and Kazanas, 1993). 

Menurut review Asropi (2002), berbagai kompetensi tersebut mengandung makna sebagai berikut : Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan atau diinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat mengarahkan seseorang untuk menetapkan tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan (Amstrong, 1990). Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan pada seseorang siapa dirinya. Knowledge adalah informasi yang dimilki seseorang dalam suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau pun fisik. Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensi lainnya yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat action. @


DAFTAR PUSTAKA
Australian Department of Labour (1974). Job Enrichment and Job Satisfaction: Selected Overseas Studies. Canberra:Australian Government Publishing Service.
Donovan, J.J. (2001). Work motivation. In N. Anderson, D.S. Ones, & H.K. Sinangil (Eds), The Handbook of Industrial,
Work, and Organizational Psychology (pp. 53-76). London: Sage Publications.
Greenberg, J. (1990). Employee theft as a reaction to underpayment inequity: The hidden cost of paycuts. Journal of Applied Psychology, 75, 5, 561-568.
Hom, P.W., & Kinicki, A.J. (2001). Toward a greater understanding of how dissatisfaction drives employee turnover.
Academy of Management Journal, 44, 975-987.
Johns, G. (2001). The psychology of lateness, absenteeism, and turnover. In N. Anderson, D.S. Ones, & H.K. Sinangil 
(Eds), The Handbook of Industrial, Work, and Organizational Psychology (pp. 232-252). London: Sage Publications.
Judge, T.A., Parker, S., Colbert, A.E., Heller, D., & Ilies, R. (2001). Job satisfaction: A cross-cultural review. In N.
Anderson, D.S. Ones, & H.K. Sinangil (Eds), The Handbook of Industrial, Work, and Organizational Psychology (pp. 25-52). London: Sage Publications.
Rumah Belajar Psikologi http://rumahbelajarpsikologi.com Powered by Joomla! Generated: 6 December, 2010, 01:49
Landy, F.J. (1989). Psychology of Work Behavior. (4th ed.). Pacific Grove, California: Brooks/ Cole Publishing Company
Ludwig, T.D., & Geller, E.S. (1997). Assigned versus participative goal setting and response generalization: Managing injury control among professional pizza deliverers. Journal of Applied Psychology, 82, 253, 253-261.
Wright, P.L. (1991) Motivation in organizations. In M. Smith (Ed), Analysing Organizational Behaviour (pp. 77-102).
London: Macmillan Education Ltd.

Definisi Public Relations

Public relations (PR) yang diterjemahkan bebas menjadi hubungan masyarakat (Humas), terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara...