08/06/12

Pengertian Kebebasan Mengeluarkan Opini


1. Pengeluaran Opini sebagai Kebutuhan Manusia
Manusia dalam hidupnya memiliki dua jenis kepentingan yaitu kepentingan pribadi (self interest) dan kepentingan kelompok (social interest) yang berhubungan sangat erat dan sulit dipisahkan. Manusia hidup dalam masyarakat yang mempunyai bermacam-macam kebutuhan yang menyebabkan terjadinya suatu komunikasi, yang diperlukan sebagai alat pemenuhan kebutuhan mental seseorang. Kebutuhan mental tersebut mendorong manusia mengeluarkan opininya.

Komunikasi yang efektif dapat dilaksanakan walaupun ada kepentingan yang tumpang tindih di masyarakat. Agar komunikasi efektif, pelaku komunikasi harus memahami kerangka berpikir (frame of reference) dan data tentang pengalaman (field of experience) komunikasi dan komunikator sendiri.


2. Aliran terkait Kebebasan Opini
Pada awal abad ke-17 sampai dengan abad ke-19 dunia muncul paham liberalism. Paha mini berpendapat bahwa kemerdekaan mengeluarkan opini atau pendapat sangat penting dalam rangka menemukan kebenaran. Sisa-sisa pendapat dari paham liberalism ini masih ada bahkan dipertahankan, sehingga umumnya setiap undang-undang negara manapun mempunyai pasal tentang kebebasan mengeluarkan opini. Indonesia mempunyai pasal 28 UUD 1945, sedangkan dalam Declaration of Human Right (1948), kebebasan tercantum dalam pasal 19.

Kebebasan mengeluarkan opini dipertahankan demi mencapai kebenaran. Beberapa teori terkait kebebasan opini adalah sebagai berikut :

a. Coherence Theory
Teori ini merupakan landasan berkembangnya ideologi-ideologi pada abad ke-19. Teori ini menyatakan bahwa opini-opini yang dimiliki seseorang harus saling bersesuaian dan merupakan satu kesatuan yang bulat. Teori ini seakan-akan hanya membenarkan opini sendiri dan menyalahkan opini orang lain.
Psikologi sosial menyalahkan coherence theory. Kenyataannya, dalam diri manusia terdapat banyak opini dan norma yang bertentangan satu sama lain yang membuat munculnya tak dapat diramalkan.

b. Correspondence Theory
Teori ini menyatakan bahwa pernyataan manusia harus sesuai kenyataan. Teori ini merupakan landasan filsafat bahwa opini yang menang adalah opini yang benar. Pada kenyataannya, psikologi sosial banyak digunakan memenangkan opini tertentu. Karena itu, kebenaran teori ini disangsikan.

c. Pragmatisme
Aliran ini tumbuh pada akhir abad ke-19 dan disebarkan oleh William James yang merupakan hasil dari penelitian John Dewey di AS. Setelah PD II, aliran ini populer kembali. Menurut James, pemikiran tentang kebenaran senantiasa dicari, karena orang mudah keliru menentukan mana yang benar. Pragmatisme sangat hati-hati menyatakan sesuatu itu benar. Dengan kata lain, teori ini menyatakan semua opini adalah relatif.

Pragmatisme menggunakan pertukaran pikiran untuk mencapai :

  1. manusia bertanggung jawab,
  2. manusia yang hidup dengan sadar, dan
  3. manusia yang setiap kali mengadakan veriikasi dan introspeksi.


Dari pola pikir tersebut tampak bahwa pragmatisme adalah sangat rasional. Pragmatisme bukanlah jalan pintas. Sebaliknya, pragmatisme justru berpegang pada prinsip bahwa manusia bertanggung jawab atas opini-opininya. Opini adalah penggerak dari tindakan individu.

Opini individu adalah hasil pengalamannya. Karena itu pragatisme sangat menitikberatkan kepada pendidikan dalam mencari kebenaran, harus dapat dibuktikan sebagian benar pada masa lampau, sekarang dan masa depan. Dalam hal ini, pragmatisme menjelaskan pengaruh norma-norma pada manusia yang akan menentukan masa depannya, khusus pikiran individunya. Namun, bukan berarti manusia hanyalah hasil dari masa lampaunya, manusia mempunyai cita-cita yang mendorong dia untuk maju. Semua pikiran dan tindakan manusia diarahkan pada perwujudan cita-cita, dan tergantung pada kemampuan individu itu seberapa cepat atau lambat dia mencapainya.

Bagaimana pragmatisme berlaku di masyarakat ? Ternyata di masyarakat tidak ada kebenaran yang mutlak bagi individu. Kebenaran juga menjadi hak anggota masyarakat lain. Dalam mencapai cita-cita yang dilandasi oleh kebenaran yang diyakininya, individu terikat oleh “ self-discipline-nya “ untuk menghormati kebenaran orang lain. Sangat mungkin bahwa individu berbeda bahkan bertentangan dengan cita-cita individu lainnya sehingga dalam masyarakat sering terjadi konflik. Contoh konflik adalah sebagai berikut.
Rancangan Undang-undang Pornografi dan Pornoaksi banyak ditentang oleh seniman yang bergerak dalam dunia tarik suara, khususnya seniman perempuan yang memperlihatkan auratnya di panggung hiburan. Para seniman mengetahui bahwa UUPPA kurang jelas ada beberapa pasal mengurangi kebebasan kaum perempuan untuk mencari nafkah. Sebaliknya, kelompok agamais mendukung UUPA yang dianggapnya menjunjung tinggi norma-norma yang dianut bangsa ini.

Pada kasus tersebut kelompok seniman dan kelompok agamais berbeda dalam hal cita-cita, yang muncul dari pemikiran yang dianggapnya benar. Dengan diskusi, kedua kelompok tersebut akan memahami apa yang dianggap benar oleh kelompok lain.


3. Pendapat Leibnitzi dan Locke terkait Kebenaran
Leibnitz mengatakan kebenaran diperoleh dari analisis dan sintesis. Tokoh lain, John Locke mengatakan ada tiga tahap kebenaran, yakni :

Intuition
Tahap kebenaran ini merupakan tingkat yang paling murni dan mendekati kebenaran mutlak. Menurut Locke, orang mempunyai perasaan bahwa sesuatu itu benar atau salah.

Demonstration
Tahap kebenaran ini merupakan pembuktian antara apa yang dikatakan dan kenyataannya.

Perception
Tahap kebenaran ini didasarkan pada hasil indera. Tahap kebenaran ini merupakan yang paling kecil kemungkinan kebenarannya, karena hanya didasarkan pada indera.




Norma dan Kebebasan Mengeluarkan Opini
1. Kebebasan Mengeluarkan Opini
Mengapa orang memperjuangkan dan mempertahankan kebebasan mengeluarkan opini ? Karena kebebasan mengeluarkan opini penting untuk memperjuangkan kebenaran. Namun, kebenaran ditentukan oleh norma yang dianut masyarakat yang sesuai tempat, zaman dan waktunya. Membahas masalah secara tidak langsung juga membahas standar opini atau opini publik. Norma adalah nilai standar tentang baik buruk tindakan dan opini seseorang. Nilai dan sistem nilai masyarakat (= sistem norma) pada akhirnya akan menentukan nilai dan derajat kebenaran suatu opini. Jadi dengan adanya norma, kebebasan mengeluarkan opini sudah mengalami batasan alaminya. Kebebasan mengeluarkan opini akan diizinkan dan ditoleransi selama tidak bertentangan dengan norma kelompok dalam masyarakat. Perhatikan kasus berikut.

Foto bugil Anjasmara dimuat di media massa, surat kabar dan televisi (2005). Foto ini sekedar dokumentasi untuk museum dan bukan untuk dipublikasikan sehingga pemotretan itu dianggap tidak bermasalah. Sebaliknya, foto ini menimbulkan kemarahan masyarakat yang melihat foto itu bukan terbatas di museum tetapi dianggap punya nilai seni dan masuk ke media massa (surat kabar dan televisi). Foto itu menuai protes dan dinilai murahan.

Banyak pembaca surat kabar menyesalkan seorang artis yang dalam sinetron hampir selalu berperan sabar dalam kehidupan sederhana, tiba-tiba berubah berpenampilan bugil. Tentu foto itu menimbulkan pro dan kontra.
Norma berbeda dari kelompok satu dengan kelompok lainnya. Dalam hubungan dengan pemuatan artikel atau foto di surat kabar, redaksi harus menyadari norma masyarakat pembaca berbeda-beda. Redaksi perlu mengantisipasi reaksi dari khayalak atas pemuatan artikel atau foto. Khalayak adalah heterogen atau berbeda-beda. Disinilah mulai munculnya batasan kebebasan secara alamiah.
Kebebasan dijamin secara mutlak sepanjang tidak mengganggu orang lain dan selama tidak bertentangan dengan norma rata-rata masyarakat, sepanjang masih dalam jangka toleransi, dan sepanjang tidak dibatasi oleh undang-undang. Oleh karena norma sosial berbeda-beda antarmasyarakat, maka sukar menyatakan secara tegas bagaimanakah kebenaran itu dalam undang-undang. Menurut standar sosial, tidak ada kebenaran yang mutlak. Untuk ketertiban masyarakat, muncul social control.
Dalam usaha menjadikan norma kelompok tertentu norma masyarakat luas, timbul ketidaksepakatan tentang apa itu standar norma (= norma rata-rata). Karena itu sering terjadilah “pertarungan” di bidang social control. Pertarungan ini dibahas Roucek dalam bukunya Social Control. Menurutnya, setiap opini atau tindakan manusia muncul dengan tiga kemungkingan :
a) secara otomatis,
b) sesuai ketentuan lembaga/instansi, dan
c) dalam keragu-raguan.

Usaha individu, instansi, kelompok sosial, atau kelompok politik untuk mempengaruhi sosial, politik, atau hukum biasanya dilakukan dalam keragu-raguan. Masyarakat yang sedang mengalami transisi dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern sering mengalami banyak pertarungan karena banyak persoalan yang belum memiliki standar. Standar lama tidak dapat digunakan lagi, tetapi standar baru belum muncul.
Umumnya orang menginginkan kebebasan. Orang juga menganggap bila tidak dicantumkan larangan dalam peraturan perundang-undangan, maka tindakan menyerang kebebasan orang lain tidak dapat dituntut. Perhatikan kasus berikut,
Peraturan : Untuk Ditaati atau Dilanggar ?.....Di masyarakat kita, setiap hari banyak ditemui pelanggaran yang dilakukan oleh individu-individu (misalnya, pelanggaran lalulintas). Individu selalu mengikuti “aji mumpung”, pokoknya saya ingin cepat, tidak peduli bagaimana orang lain. Akibatnya, banyak ketegangan dijumpai terutama di jalan raya. Peraturan lalulintas sebenarnya tersedia. Yang menjadi masalah adalah apakah masyararakat menyadari ada peraturan yang harus diikuti. Selain itu, aparat juga belum tentu memahami peraturan itu.

2. Pembatas atas Kebebasan Mengeluarkan Opini
Menurut Oskar Bauhofer (Astrid 1975), hak-hak asasi tidak diberikan dan tidak hilang. Hak asasi itu bukan hak warga negara, melainkan hak manusia yang ada di dalam organisasi negara. Pencantuman prinsip hak asasi ke hukum negara dilakukan dengan tujuan memungkinkan manusia “menyempurnakan diri”. Manusia adalah makhluk yang bebas dan bertanggung jawab. Negara hanya merupakan organisasi yang menjamin hak-hak asasi manusia bersangkutan. Pemikiran demikian sesuai dengan filosofi demokrasi, yang menetapkan batas-batas atas kebebasan.
a. Sensor sebagai Pembatas atas Kebebasan Mengeluarkan Opini
Setiap negara hukum akan menindak setiap pelanggaran atau penyalahgunaan kebebasan mengeluarkan opini atau pendapat (Roger Fisher-Astrid 1975, pg. 13). Penindakan ada dua, yaitu sebelum terjadi (apriori) dan sesudah terjadi (repressif). Pembatasan kebebasan dalam bentuk apriori biasa dilaksanakan dalam situasi demokrasi yang dalam keadaan bahaya.
Selain apriori dan repressif, dikenal adanya sensor preventif. Berita-berita yang tergolong preventif adalah berita-berita militer, yang kebocorannya akan merugikan keamanan negara atau rahasia negara.

b. Kebenaran sebagai Pembatas atas Kebebasan Mengeluarkan Opini
Hanya dalam alam demokrasi, manusia dapat berkembang dengan wajar. Demokrasi memberikan kebebasan yang dibatasi oleh penilaian tentang kebenaran. Prinsip itu sejalan dengan Walter Lippman dalam tulisannya Public Opinion (1923), yang menyatakan pers tidak mungkin menjadi penjaga kebenaran. Dalam pekerjaan sehari-hari, pembuat berita (redaktur) harus memperhitungkan pengawasan masyarakat terhadap opini tertentu. Masyarakat bahkan mempunyai prasangka tertentu yang ada di luar kendali redaktur. Kebebasan pemberitaan dibatasi oleh kebenaran : kebenaran menurut redaktur surat kabar dan kebenaran menurut pembaca surat kabar.
Sebagian besar berita di media massa merupakan argumentasi dari berbagai opini dan setiap opini mempunyai pendukung. Lippman mengatakan keadaan ini terjadi bukan karena itikad buruk media, tetapi pers sebagai pembawa opini publik terlalu lemah. Manusia pada hakikatnya sukar menemukan kebenaran mutlak. Atau, kebenaran mutlak itu tidak ada.
Pendapat dan sikap yang tercantum di media massa tidak selalu mencerminkan kebenaran. Mungkin media massa mendapat berita dari sumber dan lembaga lain yang telah menyaringnya sebelum memberikan informasi itu ke media massa. Menurut Lippman, media massa terutama pers merupakan :
1) pihak yang langsung melaksanakan demokrasi dan mengoreksinya, dan
2) pihak yang menjadi pengadilan bagi opini publik.

c. Peraturan Perundang-undangan sebagai Pembatas atas Kebebasan Mengeluarkan Opini
Barker dalam Principle of Social and Political Theory (1963) yang dikutip Astrid mengemukakan negara melanggar kebebasan anggota masyarakatnya dan menerjang kebebasannnya, yaitu dengan berlakunya prinsip mayoritas maupun public opinion-nya. Selanjutnya, ia mengatakan ada perbedaan antara social society (ikatan social) dan legal society (ikatan hukum) di suatu negara. Negara dapat mengancam “social liberty”. Yakni, masyarakat dipaksa dengan ideologi tertentu, agama tertentu, dan dengan sanksi hukum. Pelanggaran terhadap legal liberty menyebabkan keadilan hukum tidak berlaku lagi untuk semua anggota masyarakat. Hukum dikuasai oleh pihak yang kuat dan sedang berkuasa.
Hukum tidak pernah memberikan kebebasan mutlak kepada setiap individu. Individu harus selalu memerhatikan kebebasan anggota-anggota masyarakat lainnya. Kebebasan yang dijamin negara biasanya adalah kebebasan yang ditertibkan dan kebebasan yang bersifat relatif. Negara menjamin kebebasan individu secara rata-rata. Kebebasan menurut hukum memungkinkan :
1) Setiap individu menikmati kebebasan yang sama besarnya dengan kebebasan orang lain.
2) Setiap individu menikmati kebebasan yang utuh dalam hal-hal khusus.

Ketika berbicara tentang keadilan, ahli hukum Friedmann mengatakan kita tidak mungkin menentukan prinsip-prinsip keadilan secara khusus yang sekaligus mempunyai nilai universal. Namun demikian, kita perlu mencari formulasi keadilan di alam demokrasi. Rule-of-law (yang juga menentukan cara mengeluarkan opini) di alam demokrasi ditentukan berdasar prinsip :
1) kesamaan terhadap hukum, dan
2) tanggung jawab individu terhadap hukum.

Dalam konteks ini, “kesamaan” berarti bahwa tidak ada individu dan kelompok yang memperoleh perlakuan hukum yang berbeda. Harus ada keseimbangan antara berbagai hak kebebasan dan berbagai pembatas atas hak kebebasan itu.

Menurut Barker, bentuk-bentuk kebebasan mencakup :
1) Civil liberty. Kebebasan ini merupakan hak untuk hidup sebagai anggota masyarakat dengan mengharap perlindungan yang sama dari negara. Setiap anggota berhak hidup secara aman.
2) Political liberty. Ini merupakan tingkat kebebasan yang lebih jauh dari civil liberty. Kebebasan ini mencakup hak anggota untuk ikut menentukan corak dan arah pemerintahan. Dalam dunia demokrasi, eksekutif tidak dianggap sebagai lawan dari legislatif melainkan dianggap sebagai bagian dari organisasi negara. Dengan demikian, demokrasi modern tidak lagi menentang pemerintahnya, melainkan mengawasinya. Artinya, demokrasi bersifat mengawasi kebebasan bagian satu dengan yang lain. Demikian pula, rakyat mengawasi agar dapat menikmati kebebasan dan haknya. Negara memberikan perlindungan kepada rakyatnya.
3) Economic liberty. Ini adalah kebebasan mencari dan memperoleh pekerjaan sesuai dengan keinginan dan kemampuan masing-masing. Dalam praktik tidak banyak perbedaan political liberty dan economic liberty. Akan tetapi, kebebasan mendapat pekerjaan baru dapat dijamin bila keadaan politik mengizinkan.

Dapat dikatakan bahwa kebebasan merupakan salah satu penyebab terwujudnya keadilan. Tugas negara bukan saja mengadakan keseimbangan antara ketiga jenis kebebasan itu, tetapi juga menyatukan bentuk kebebasan itu satu sama lain.
Masih menurut Barker, dasar berpikir rule-of-law adalah keseimbangan antara kebebasan (liberty) satu pihak untuk menjalankan sesuatu dan kebebasan pihak lain untuk menjalankan sesuatu yang lain. Individu harus mencamkan bahwa kebebasan juga dimiliki orang lain, bukan hanya milik dirinya. Jadi, ada prinsip hak yang sama.

C. Kebebasan Mengeluarkan Opini dari Segi Komunikasi
Setiap individu memiliki kebebasan mengeluarkan pendapat (opini), sedangkan setiap media massa memiliki kebebasan menyebarkan opini. Di negara-negara totaliter, pelarangan mengeluarkan opini pribadi terjadi, di negara-negara yang menganut filsafat demokrasi, kebebasan diusahakan dijamin.
Ada beberapa teori komunikasi tentang pembatasan mengeluarkan opini: authoritarian theory, libertarian theory, responsibility theory, communist theory.
1. Authoritarian Theory
Authoritarian Theory mencapai puncaknya pada zaman absolutisme (abad ke 16 dan abad 17). Pada waktu itu, kebebasan mengeluarkan opini hanya diizinkan jika individu sudah membayar pajak. Hanya para individu yang banyak uang yang memperoleh pendidikan tinggi. Mereka juga mempunyai opini yang sehat dan berguna tentang masyarakat. Jelaslah, kebebasan mengeluarkan opini terbatas pada orang yang terpelajar dan banyak uang.
Berdasarkan analisis Fred S. Siebert pada masa berlakunya authoritarian theory, tugas pers adalah mendukung dan memajukan kebijakan pemerintah (raja). Pada masa itu, raja-raja secara absolut menggunakan kekuasaannya untuk melindungi masyarakat dari kekuasaan kaum feodal (baron) yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Menurut Siebert, meskipun penggunaan kekuasaan secara absolut sekarang tidak sesuai dengan alam demokrasi, pada zaman itu hal demikian berfungsi dengan baik. Masyarakat dilindungi oleh raja-raja yang absolut kekuasaannya dan kekuasaan itu bertahan sampai munculnya kemenangan revolusi (glorious revolution) di Inggris (1688). Sejak itu, suasana politik dan ekonomi berubah. Pembaca surat kabar dan buku makin banyak. Lahir libertarian theory.
2. Libertarian Theory
Teori ini mulai berkembang abad ke-18. Menurut teori ini, tugas pers adalah memberi penerangan. Filosofi kelompok Levelers berusaha memajukan masyarakat untuk menentukan nasibnya sendiri. Kemampuan ini dapat diwujudkan dengan adanya informasi yang cukup yang dimiliki setiap anggota masyarakat. Pengetahuan dapat disebarluaskan oleh pers dan masyarakat memerlukan penerangan sebanyak mungkin. Sesuai filosofi ini, setiap individu mempunyai hak-hak asasi, antara lain hak menemukan kebenaran sesuai ajaran agama. Tampak ada hubungan yang erat antara memeluk agama dan beribadah dengan kebebasan mengeluarkan opini di muka umum.
John Locke memajukan libertarian theory. Akan tetapi, pada akhirnya teori ini membawa kekecewaan masyarakat di abad-abad berikutnya. Tidak semua orang serasional yang mereka duga. Dalam sejarah filsafat, abad ke-18 dan 19 dikenal dengan Abad Rasionalisme. Fungsi pers adalah mencari kebenaran, tanpa digugat oleh siapa pun.
Pengikut teori libertarian sampai sekarang berpendapat bahwa tugas pers adalah sebagai penjaga eksekutif. Menurut William L. Rivers dan Theodore Peterson serta JAW. W. Jansen, sebenarnya tujuan libertarian theory adalah memberi penerangan, melayani kebutuhan ekonomi/periklanan, memajukan kehidupan politik, mencari keuntungan, menjaga hak warga Negara, dan memberi hiburan.

3. Responsibility Theory
Sesudah PD II terjadi banyak perubahan dalam dunia pers, dengan kehadiran responsibility theory. Teori ini dirumuskan pada tahun 1947 oleh Commission on Freedom of the Press di AS. Perumusan itu membuktikan adanya perubahan sikap kalangan pers. Pada responsibility theory, pers menjadi bacaan massa dan pengaruhnya berkurang karena pers hanya menjadi alat politik saja.
Hutchins Committee membahas tugas pers :
a. Memberikan pengertian sebenarnya atas peristiwa setiap hari;
b. Sebagai forum tukar pikiran;
c. Memberi gambaran adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat;
d. Menjelaskan kepada masyarakat tujuan dan nilai-nilai masyarakat;
e. Memberi peluang memperoleh pengetahuan.

Hutchins Committee tidak membatasi penjelasannya hanya pada media cetak, tetapi mencakup semua media massa termasuk radio, televisi, dan film.
Terkait kebebasan mengeluarkan opini, Hutchins Committee menekankan pada kebebasan pers. Menurutnya, kebebasan penyebaran ide dengan menggunakan media elektronik akan terbatasi oleh dua faktor yang saling bertentangan :
a. kebebasan dari campur tangan luar (external), dan
b. kebebasan dari campur tangan dalam (internal).

Secara teoritis kebebasan pers mencakup tiga unsur kebebasan, yaitu : bebas tekanan, bebas mewujudkan cita-cita, dan bebas mengucapkan sesuatu. Dalam kenyataan, semua orang mempunyai kebebasan yang sama. Akan tetapi tidak semua orang dapat menyebarkan opininya melalui media.

4. Communist Theory
Kebebasan mengeluarkan opini menurut communist theory tidak berbeda dengan yang menurut authoritarian theory. Dalam praktik, teori ini membatasi kebebasan hingga sebanyak mungkin. Hak ini sesuai dengan filosofi komunisme, yakni tidak memberikan kebebasan bagi kehidupan pribadi.
Media diawasi secara ketat karena dianggap bertanggung jawab mendidik mental dan membentuk kebudayaan baru. Salah satu pemikiran komunisme adalah “revolusi proletar” belum selesai. Karena itu semua kegiatan pers diarahkan agar mendukung dan mengukuhkan diktator proletar.
Tugas pers sesuai dengan communist theory bukan mencari kebenaran dan membawa fakta sebanyak mungkin untuk mensukseskan self-government, tetapi menjadi alat politik partai yang sedang berkuasa. Kebenaran tidak perlu dipersoalkan dan tidak perlu dicari.

RANGKUMAN
Dalam mencari kebenaran, John Locke berpegang pada intuisi, sedangkan pragmatisme yang dipopulerkan oleh William James dan John Dewey berpegang pada prinsip proses verifikasi. John Locke memperhitungkan kemungkinan adanya konflik antara “kebenaran” berdasarkan persepsi dan intuisi, sedangkan William James berusaha menghindari konflik dengan pengadaan verifikasi. Verifikasi dilakukan dengan introspeksi untuk memahami bahwa opini sendiri mungkin salah.
Pada pragmatisme tidak terdapat jurang antara masa lampau dan masa sekarang, antara tradisi lama dan alam modern. Semua diusahakan berjalan lancar. Pragmatisme tidak menginginkan sikap yang hanya mencari keuntungan tanpa mempunyai tujuan jangka panjang. Sebaliknya, pragmatisme menginginkan verifikasi dan introspeksi setiap saat untuk mengetahui perbedaan antara kenyataan dan cita-cita. Pragmatisme berusaha mencapai kebenaran dengan jalan diskusi dengan diri atau lingkungan. Mencapai kebenaran dilakukan dengan memperhitungkan rasio dan emosi manusia. Emosi kadang-kadang benar tetapi kadang-kadang menjerumuskan.
Norma kelompok satu sering berbeda dengan kelompok yang lain. Akibatnya muncul persengketaan di dalam kehidupan masyarakat.
Kontrol terhadap komunikator dengan menggunakan media, yang kadang-kadang dilakukan oleh komunikan, biasanya hanya bisa dilakukan melalui surat pembaca. Kontrol secara keseluruhan diserahkan kepada instansi-instansi resmi.
Pembatas kebebasan dapat berbentuk sensor, kebenaran, hukum pemerintahan dan keseimbangan antara hak-hak civil liberty, hak political liberty dan hak economic liberty. Teori Authoritorian, liberalism, responsibility, dan communist menggambarkan kebebasan mengeluarkan opini pada masa kehadiran teori tersebut. Gambaran ini mencakup kekuasaan raja absolut yang berupaya melindungi rakyat dari kaum feodal, hingga ke situasi dimana orang yang banyak uang akan memperoleh pendidikan tinggi dan opini mereka dianggap sehat dan berguna bagi masyarakat.


PERTANYAAN LATIHAN
Setelah membaca Opini Publik Modul 1 diharapkan mahasiswa dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana pandangan psikologi sosial tentang “kebebasan mengeluarkan opini” ? Apa benar manusia dalam hidupnya mempunyai dua kepentingan, kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok. Jelaskan !
2. Pasal 28 UUD 45, tentang kebebasan mengeluarkan pendapat/opini dikatakan memiliki sisa-sisa filsafat liberalisme. Mengapa demikian ?
3. Sebutkan teori yang meninjau tentang kebenaran, dan sebutkan salah satu dari teori itu yang mengatakan opini adalah penggerak dari tindakan. Jelaskan !
4. Apa yang dikemukakan oleh Barker bahwa ia menemukan bentuk-bentuk kebebasan. Sebutkan serta jelaskan !
5. Sebutkan teori-teori yang lahir pada abad ke-16 sampai abad ke-20, dengan ciri masing-masing !
6. Sebutkan perbedaan dan persamaan authoritarium theory dan communist theory !

CONTOH KASUS
1. Ada kebebasan memotret wanita yang sedang mandi di sungai atau sedang mencuci pakaian. Pemotretan itu tidak menjadi masalah. Tetapi pemuatan potret itu ke surat kabar akan menimbulkan kemarahan masyarakat, karena adanya perbedaan situasi antara ‘mandi di sungai’ dan masuk ke dalam surat kabar yang ditampilkan ‘lagi tidur-tiduran di atas batu’ . Menurut Anda, apakah kebebasan harus mempertimbangkan situasi yang spesifik ?
2. Orang mengatakan bahwa pernyataan setiap orang mengandung kebenaran. Hal ini berarti bahwa setiap individu, yang mengemukakan pikirannya atau pendapatnya adalah benar. Kebenaran dapat dilihat dari setiap persepsi masing-masing individu tersebut. Misalnya, masalah “Lumpur Sidoarjo” di Jawa Timur. Pada awalnya orang berpendapat kejadian itu karena hukum alam. Tetapi, begitu lumpur bisa melanda beberapa desa bahkan melumpuhkan kegiatan sosial dan ekonomi penduduk sekitarnya, opini masyarakat terutama masyarakat pengamat lingkungan yang berada di luar Sidoarjo mulai menyerang pemilik proyek raksasa itu (PT Lapindo). PT Lapindo mengabaikan dampak lingkungan. Berbagai opini cenderung menghujat pemerintah, yang katanya tidak peduli pada nasib penduduk yang mengalami kerugian harta benda. Belum selesai opini tentang nasib penduduk, muncul opini para ahli bahwa “Lumpur Sidoarjo” jika dipisah dari airnya akan bermanfaat untuk bahan bangunan. Lumpur kering itu lebih kuat dan tahan lama jika dibandingkan dengan batu dan semen untuk bahan bangunan selama ini. Walaupun terselip “kebenaran” dari para ilmuwan, tetapi penelitian mereka belum memberikan bukti yang benar. Menurut Socrates, “kebenaran” bisa terwujud melalui diskusi. Apakah diskusi antar para ilmuwan atau antar para agamais tentang lumpur Lapindo akan bermanfaat ?


DAFTAR BACAAN
Susanto, Astrid Dr. Phil. 1975. Pendapat Umum. Bandung: Karya Nusantara. (hlm. 1-7)
Bauhofer, Oskar. 1946. Rechenschaft der Demokratie. Luzern. (hlm. 73-76)
Ernest, Barker. 1963. Principles of Social and Political Theory. London. (hlm. 143-150, 170)
Siebert, Fred S. 1954. The Role of Mass Communication in American Society. Dalam kumpulan tulisan Mass Media and Education, NSSE, Chicago-Illinois (hlm. 15-16)

Sumber ilustrasi :
http://advokasirakyat.blogspot.com
http://forum.banjarmasinpost.co.id
http://prbsicengkareng.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definisi Public Relations

Public relations (PR) yang diterjemahkan bebas menjadi hubungan masyarakat (Humas), terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara...