Konflik langsung antar kelompok. Berdasarkan Teori Konflik Realistik (Realistic Conflict Theory) di mana prasangka muncul karena kompetisi antar kelompok social untuk memperoleh kesempatan atau komoditas yang berharga yang berkembang menjadi rasa kebencian, prasangka dan dasar emosi.
Contoh: konflik antara para pendatang (migrant) dengan masyarakat setempat, masyarakat setempat cenderung memiliki prasangka terhadap para migrant ini karena para migrant lebih mampu untuk survive dan berhasil di wilayah barunya sehingga menimbulkan rasa kebencian pada diri masyarakat setempat terhadap para migrant. Hal ini dapat dilihat pada konflik yang terjadi di Ambon, atau Kalimantan.
Contoh: konflik antara para pendatang (migrant) dengan masyarakat setempat, masyarakat setempat cenderung memiliki prasangka terhadap para migrant ini karena para migrant lebih mampu untuk survive dan berhasil di wilayah barunya sehingga menimbulkan rasa kebencian pada diri masyarakat setempat terhadap para migrant. Hal ini dapat dilihat pada konflik yang terjadi di Ambon, atau Kalimantan.
Pengalaman awal. Berdasarkan Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory), prasangka dipelajari dan dikembangkan dengan cara yang sama serta melalui mekanisme dasar yang sama, seperti sikap yang lain yakni melalui pengalaman langsung dan observasi/vicarious. Contoh: Santi sejak kecil sering mendengar orangtuanya melontarkan komentar-komentar negatif terhadap orang dari golongan etnis Tionghoa, maka Santi juga akan ikut meyakini pandangan negatif orang tuanya tentang etnis Tionghoa tersebut. Selain itu, media massa juga memiliki peran dalam pembentukkan prasangka.
Kategorisasi Sosial, yakni kecenderungan untuk membuat kategori social yang membedakan antara in-group—“kita”—dengan out-group—“mereka”. Kecenderungan untuk memberi atribusi yang lebih baik dan menyanjung anggota kelompooknya sendiri daripada anggota kelompok lain terkadang dideskripsikan sebagai kesalahan atribusi utama (ultimate attribution error), yang sama seperti self serving bias hanya saja terjadi dalam konteks antar kelompok. Kategori social ini menjadi prasangka, dapat dijawab berdasarkan Teori Identitas Sosial (Identitty Theory) dari Tajfel. Teori ini mengatakan bahwa individu berusaha meningkatkan self-esteem mereka dengan mengidentifikasikan diri dengan kelompok social tertentu. Namun, hal ini terjadi hanya bila orang tersebut mempersepsikan kelompoknya lebih superior daripada kelompok lain yang menjadi pesaingnya.
Stereotip—kerangka berpikir kognitif yang terdiri dari pengetahuan dan keyakinan tentang kelompok social tertentu dan traits tertentu yang mungkin dimiliki oleh orang yang menjadi anggota kelompok-kelompok ini. Ketika sebuah stereotip diaktifkan, trait-trait ini lah yang dipikirkan. Stereotip mempengaruhi pemrosesan informasi social (diproses lebih cepat dan lebih mudah diingat), sehingga mengakibatkan teerjadinya seleksi pada informasi—informasi yang konsisten terhadap stereotip akan diproses sementara yang tidak sesuai stereotip akan ditolak atau diubah agar konsisten dengan stereorip. Reaksi lain terhadap informasi yang tidak konsisten adalah membuat kesimpulan implicit yang mengubah arti informasi tersebut agar sesuai dengan stereotip. Stereotip seperti penjara kesimpulan (inferential prisons): ketika stereotip telah terbentuk, stereotip akan membangun persepsi kita terhadap orang lain, sehingga informasi baru tentang orang ini akan diinterpretasikan sebagai penguatan terhadap stereotip kita, bahkan ketika hal ini tidak terjadi.
Mekanisme kognitif lain: a) Ilusi tentang hubungan (illusory correlation) yaitu kecenderungan melebih-lebihkan penilaian tingkah laku negatif dalam kelompok yang relatif kecil. Efek ini terjadi karena peristiwa yang jarang terjadi menjadikannya lebih menonjol dan dengan mudah diingat; b) ilusi homogenitas Out-Group (illution of out-group homogeneity) yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan orang-orang dari kelompok lain yang bukan kelompoknya sebagai orang yang serupa. Lawan dari kecenderungan tersebut adalah perbedaan in-group (in-group differentiation) yaitu kecenderungan untuk mempersepsikan anggota kelompoknya dalam menunjukkan keragaman yang lebih besar satu sama lain (lebih heterogen) daripada kelompok-kelompok lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar