21/01/13

Etika PR - Profesi Etis


Pekerjaan PR merupakan posisi yang sangat penting dan tidak dapat dijabat oleh sembarang orang, karena PR menjalankan fungsi dan tugasnya memikul tanggung jawab yang sangat berat berkaitan dengan masalah etika moral yang luhur.

PR dalam melakukan pekerjaan haruslah mempunyai niat baik dan bersifat netral, tidak berpihak pada salah satu golongan. Beban pekerjaan seorang PR tidaklah sedikit. PR sebagai komunikator harus memilili kredibilitas yang cukup tinggi, sebagaimana diutarakan Austin J. Frelley dalam bukunya Argumentation and debate (1969) yang menjelaskan bahwa seorang PR dalam menjalankan pekerjaan harus memiliki beberapa etos kerja yang diantaranya adalah:

Komponen ethos, bahwa komunikator harus memiliki:
  • Competence (mempunyai kemampuan atau kewenangan)
  • Integrity (memiliki integritas atau kejujuran)
  • Good will (berkemauan baik)


Faktor-faktor pendukung ethos
Sukses atau tidaknya sebagai komunikator akan ditentukan oleh kemampuan dalam mengadakan pilihan yang akan meningkatkan ethosnya di mata komunikannya yaitu memiliki persyaratan-persyaratan sebagai berikut:

(1) Persiapan (preparation)
Persiapan sebagai komuniktor untuk tampil mutlak diperlukan, mulai dari penguasaan dan persiapan bahan-bahan materi, pesan, informasi dan tema yang hendak disampaikan, serta mempelajari problem/permasalahan yang akan dihadapi dan termasuk mengetahui siapa yang menjadi khalayak sebagai target sasarannya.

(2) Kesungguhan (seriousness)
Komunikator harus menunjukkan keseriusan  yang penuh perhatian, sehingga menimbulkan kepercayaan dimata khalayaknya. Apabila orator ingin menampilkan “humor atau lelucon” hanya dianggap sebagai selingan, dan tidak akan menimbulkan kesan yang bersangkutan sebagai seorang pelawak sedang tampil untuk memberikan hiburan, dan sehingga dapat dinilai tidak serius dimata khalayak.

(3) Ketulusan (sincerity)
Kemampuan dalam membawakan kesan kepada khalayaknya, bahwa adalah seorang yang tulus hatinya, pikiran dan perilakunya. Harus berhati-hati agar dalam penyampaian atau tindakannya itu akan menimbulkan kecurigaan dan atas ketidak tulusannya di mata publiknya “lain yang ditanyakan dan lain pula yang dijawabnya”

(4) Kepercayaan (confidence)
Harus senantiasa memancarkan kepastian atau kepercayaan dimata publiknya, dan tidak boleh teledor dalam berbuat kesalahan atau kecurangan, misalnya dapat menimbulkan suatu penilaian “selain dihati dan lain dimulut”, sehingga terjadi penilaian citra negatif bagi komunikator yang bersangkutan.

(5) Ketenangan (poise)
Khalayak cenderung lebih percaya pada pembicara yang bersikap tenang, meyakinkan, berwibawa dan memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi dalam menyampaikan pesan dihadapan khalayak.

(6) Keramahan (friendly)
Komunikasi yang efektif adalah menyampaikan pesan atau berbicara secara komunikatif dan berada sahabat, saling menghormati dan menghargai perbedaan pendapat, serta tidak menampilkan sikap sepihak, melecehkan pihak yang bertentangan atau bersikap arogan yang pokoknya atau menunjukan ”sok pintar atau sok tahu”

(7) Kesederhanaan (moderation)
Penampilan pembicara yang sederhana dan isi pembicaraan yang lebih berbobot serta wajar biasanya lebih menarik, jika dibandingkan dengan penampilan bahasa yang sombong atau “perlente”, penuh dengan istilah-istilah tenis atau akademis (bahasa asing) yang orang lain tidak mengerti akan ucapannya itu dan sehingga menimbulkan antipati bagi pihak khalayaknya.


Faktor-faktor penunjang komunikasi yang komunikatif 
Wilbur Schramm menyatakan pendapatnya the condition of success in communication”, yakni untuk mengetahui bagaimana efek atau dampak dari pesan dalam suatu proses komunikasi, tanggapan oleh pihak khalayaknya, seorang PR sebagai komunikator yang handal perlu mengenali khalayaknya (know your audience). 

Kondisi yang perlu dipenuhi agar suatu pesan membangkitkan tanggapan seperti yang dikehendaki antara lain: 
  1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa, sehingga dapat menarik perhatian komunikan.
  2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang atau arti yang sama antara komunikator dan komunikan, sehingga mudah dimengerti.
  3. Pesan tersebut dapat membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan memberikan saran beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan itu.
  4. Pesan dapat menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tersebut yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan itu berada agar dapat digerakkan untuk memberikan tanggapan seperti yang dikehendaki. (Ruslan, 2002, 19-23). 
 
Arti penting etika dalam kegiatan humas
Etika merupakan landasan dasar atau sebagai pedoman dalam melaksanakan pekerjaan bidang public relations (PR). Seseorang dengan profesi kehumasan dalam melaksanakan harus mengacu pada prosedur yang telah ditentukan baik pihak manajemen perusahaan/organisasi tempat ia bekerja. Profesional PR sebelum menjalankan pekerjaan harus dapat mempelajari segala ketentuan yang diatur secara prosedural apa yang harus ditaati dan tidak boleh dilanggar, apa yang jika diabaikan akan mendapat sanksi moral. 
  
Didalam kehidupan sehari-hari sering dikenal dengan istilah norma-norma atau kaidah yaitu biasanya suatu nilai yang mengatur dan memberikan pedoman atau patokan tertentu bagi setiap orang atau masyarakat untuk bersikap atau bertindak, dan berperilaku sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati bersama. Patokan atau pedoman tersebut sebagai norma (norm) atau kaidah yang merupakan standar yang harus ditaati atau dipatuhi.
 
Dalam kehidupan masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran yang masing-masing mempunyai kepentingan sendiri, akan tetapi kepentingan bersama itu mengharuskan adanya ketertiban dan keamanan yang dalam kehidupan sehari-hari diatur dalam bentuk peraturan yang disepakati bersama, yang mengatur tingkah laku dalam masyarakat, yang disebut dengan peraturan hidup. Untuk dapat memenuhi kebutuhan dan kepentingan kehidupan dengan aman, tertib dan damai tanpa gangguan, maka diperlukan suatu tatanan yang diwujudkan dalam “aturan main” yang menjadi pedoman bagi setiap pergaulan kehidupan sehari-hari, sehingga kepentingan masing-masing anggota masyarakat terpelihara dan terjamin. Setiap anggota masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing sesuai dengan kata peraturan yang menjadi pedoman dalam bentuk sebagai berikut :
  • Perintah yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik.  
  • Larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat sesuatu oleh karena akibatnya dipandang baik 
 
Norma adalah untuk memberikan petunjuk kepada manusia bagaimana seseorang harus bertindak dalam masyarakat serta perbuatan-perbuatan mana yang harus dijalankannya dan perbuatan-perbuatan mana yang harus dihindari.
Norma-norma itu dapat dipertahankan melalui sanksi-sanksi, yaitu berupa ancaman hukum terhadap siapa yang telah melanggarnya. Tetapi dalam kehidupan masyarakat yang terikat oleh peraturan hidup yang disebut norma, tanpa atau dikenakan sanksi atas pelanggaran, bila seseorang melanggar suatu norma, maka akan dikenakan sanksi sesuai dengan tingkat dan sifatnya suatu pelanggaran yang terjadi. 

Dalam pergaulan hidup terdapat empat kaidah atau norma, yaitu :
  • Norma agama
  • Norma kesusilaan
  • Norma kesopanan
  • Norma hukum  
 
Dalam pelaksanaan terbagi menjadi norma-norma umum (non hukum) dan norma hukum, pemberlakuan norma tersebut dalam aspek kehidupan dapat digolongkan ke dalam dua macam kaidah sebagai berikut: 
 
Aspek kehidupan pribadi (individual); (a) Kaidah kepercayaan untuk mencapai kesucian hidup pribadi atau kehidupan yang beriman; dan (b) Kehidupan kesusilaan, nilai moral dan etika yang tertuju pada kebaikan hidup pribadi demi tercapainya kesucian hati nurani yang berakhlak berbudi luhur. 
 
Aspek kehidupan antar pribadi (bermasyarakat) (a) Kaidah atau norma-norma sopan santun, tata krama dan etiket dalam pergaulan sehari-hari dalam bermasyarakat; (b) Kaidah-kaidah hukum yang tertuju kepada terciptanya ketertiban, kedamaian, dan keadilan dalam kehidupan bersama atau bermasyarakat yang penuh dengan kepastian dan ketenteraman.  
 
Sedangkan masalah norma non-hukum adalah masalah yang cukup penting dan selanjutnya dapat dipelajari secara lebih luas mengenai kode perilaku dan kode profesi humas/public relations yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, etika, etis, etiket, tata krama dalam pergaulan sosial atau bermasyarakat, sebagai nilai aturan yang telah disepakati bersama, dihormati, wajib dipatuhi dan ditaati.  
 
Dengan demikian nilai moral, etika, kode perilaku dan kode etik standar profesi memberikan jalan, pedoman, tolak ukur dan acuan untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang akan dilakukan dalam berbagai situasi dan kondisi tertentu dalam memberikan pelayanan profesi atau keahliannya masing-masing. Pengambilan keputusan etis atau etik, merupakan aspek kompetensi dari perilaku moral sebagai seorang profesional yang telah memperhitungkan konsekuensinya secara matang baik atau buruknya akibat yang ditimbulkan dari tindakannya itu secara obyektif, dan sekaligus memiliki tanggung jawab secara integritas yang tinggi. Kode etik profesi dibentuk dan disepakati oleh para profesional tersebut bukanlah ditujukan untuk melindungi kepentingan individual (subyektif) tetapi menekankan pada kepentingan yang lebih luas (obyektif). 
 
Dalam hal ini seorang PR dituntut bekerja secara lebih baik dan profesional yang harus mengikuti kaidah dan norma yang diatur dalam pedoman seperti yang termuat dalam kode etik profesi khususnya kode etik profesional humas.
 Kegunaan etika dan etiket secara umum dan khusus dalam interaksi antar profesi  
Etika sebagai ilmu yang menyelidiki tanggapan kesusilaan atau etis, sama halnya dengan berbicara moral. Manusia dapat dikatakan etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya dan diantara sebagai makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya. Termasuk didalamnya membahas nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika.

Funk dan Wagnall mendefinisikan etiket sebagai peraturan yang dibuat secara konvensional untuk berperilaku dalam masyarakat yang sopan atau kehidupan resmi atau profesional. Dengan menghilangkan kata masyarakat yang sopan menghasilkan definsi tentang etika, definisi etiket sebagai kode perilaku etis yang menyangkut tindakan atau praktek profesional diantara para anggota sebuah profesi dalam hubungan mereka satu sama lain.

Kode etik, seperti yang dibuat oleh asosiasi profesi seperti institute of public relations, sebenarnya tidak lebih dari konvensi bagi perilaku dalam menerapkan standar moral pada masalah-masalah praktis.

Etiket membahas perilaku yang tepat dan benar dalam situasi personal serta bisnis dan memiliki, sebagai akarnya rasa hormat pada orang lain, jelas bahwa memiliki perilaku yang baik merupakan kunci untuk berperilaku dengan cara-cara yang dapat diterima.

Emerson mengatakan, menghindari bersikap berlebihan adalah keharusan dalam berperilaku sebagai sebuah peraturan etiket dalam PR, pantas dipertimbangkan. Beberapa hal yang penting dalam melakukan etiket adalah sebagai berikut: 
  • Apakah anda selalu mengucapkan kata “tolong dan terima kasih”, bahkan ketika orang lain hanya melakukan hal-hal yang sudah menjadi tugas mereka. 
  • Apakah anda selalu hati-hati dalam memberitahu terutama ketika seseorang melakukan sesuatu untuk anda. Jika anda tidak dapat mengatakannya pada saat itu, apakah anda ingat untuk mengatakannya? 
  • Apakah anda selalu mencari privasi untuk membicarakan hal-hal yang tidak menyenangkan? 
  • Apakah anda selalu mengontrol temperamen anda? 
  • Apakah anda menahan diri untuk tidak menggunakan bahasa yang kasar atau kotor bahkan ketika anda dalam tekanan? dan bahkan dalam e-mail bisnis? 
  • Apakah anda menahan diri untuk tidak mengucapkan hal-hal yang berbau perbedaan jenis kelamin atau membuat lelucon seks? 
  • Apakah anda memperlakukan orang lain dengan tingkat formalitas yang anda harapkan anda terima dari orang lain.

A. Parsons and Parsons (1992) health care ethics, Toronto, Wall dan Emerson, menurut Richard L. Johannesen, dalam bukunya etika komunikasi memuat pertanyaan dasar yang dipakai sebagai alat untuk membuat penilaian etika komunikasi adalah sebagai berikut: 
  • Mampukah saya menjelaskan dengan tepat apa kriteria, standar atau perspektif etika yang diterapkan pada saya atau orang lain? Apakah dasar yang konkrit bagi penilaian etika? 
  • Mampukah saya membenarkan kelogisan dan relevansi standar ini untuk kasus tertentu? Mengapa kriteria etika yang sangat sepadan ini termasuk standar yang sangat potensial? Mengapa standar ini mendapat prioritas (setidaknya untuk sementara) di atas standar relevan lainnya.
  • Mampukah saya menunjukkan dengan jelas dalam hal apa komunikasi dinilai berhasil atau gagal dalam memenuhi standar-standar itu? Penilaian apa yang dibenarkan dalam kasus ini tentang derajat keetisan? Apakah penilaian yang paling cocok adalah penilaian yang memiliki sasaran  yang spesifik dan terfokus sempit dari pada penilaian yang luas, digeneralisasi dan serba mencakup?
  • Kepada siapakah tanggung jawab etis harus diberikan? Dengan cara apa dan sejauh mana? Tanggung jawab mana  yang lebih utama? Apakah tanggung jawab komunikator terhadap dirinya sendiri dan terhadap masyarakat luas ?
  • Bagaimana perasaan saya tentang diri sendiri berdasarkan pilihan etika ini? Dapatkah saya melanjutkan hidup dengan cara sendiri dengan mengikuti hati nurani? Apakah saya ingin orangtua saya atau pasangan saya mengetahui pilihan ini?
  • Mampukah keetisan komunikasi ini dibenarkan sebagai refleksi yang melekat pada pribadi komunikator? Menurut etika sejauh mana pilihan ini keluar dari karakter ?
  • Jika diminta secara terbuka untuk membenarkan etika komunikasi saya, sejauh mana saya mampu melakukannya? Apakah setiap alasan umumnya dapat diterima
  • Apakah preseden atau kasus yang serupa sebelumnya dapat saya gunakan untuk mendapatkan pedoman etika? Apakah yang membedakan aspek-aspek penting contoh ini dari yang lain ?
  • Berapa jauhkah alternatif dikembangkan sebelum menentukan pilihan tertentu? Mungkinkah alternatif ini kurang etis daripada beberapa pilihan yang dapat digunakan, tetapi segera ditolak atau diabaikan? Jika satu-satunya jalan menuju keberhasilan mencapai tujuan komunikator mensyaratkan digunakan beberapa teknik komunikasi yang tidak etis, adakah pilihan realistik (paling tidak untuk sementara) untuk menahan diri dari komunikasi atau untuk tidak berkomunikasi sama sekali) 
Sebenarnya dalam membuat penilaian etika komunikasi tetap didasarkan pada pelaku komunikasi itu sendiri, baik komunikator maupun komunikannya. Kesadaran untuk membuat penilaian secara etis didasarkan pada suara hati, atau hati nuraninya. Suara hati adalah kesadaran akan kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai manusia dalam situasi konkrit. Pada saat inilah perspektif situasi akan berpengaruh dalam membuat penilaian etis.


DAFTAR PUSTAKA
Keraf, A. Sonny, 1991, Etika Bisnis Membangun Citra, Bisnis Sebagai Profesi Luhur, Jakarta Kanisus.

Parson, J, Patricia, 2004, Ethics in Public Relations, Published by Arrangement with Kogan Page Ltd, 120 Pentoville Road, London, Ni 9JN, Alih Bahasa Sigit Purnomo, 2007, Etika Public Relations, Erlangga.

Ruslan, Rosady, 1995, Aspek-aspek Hukum dan Etika Dalam Aktivitas Public Relations Kehumasan, Jakarta, Ghalia Indonesia.

Ruslan, Rosady, 2002, Etika Kehumasan, Konsep dan Aplikasi, Jakarta, Raja Grafindo.  

Soekanto, Soerjono dan Purbacaraka Purnadi, 1989, Perihal Kaidah Hukum Bandung, Citra Aditya Bakti.

Sumarno, Kismiati El-Karimah, Ninis, Agustini Damayani, 2004, Filsafat dan Etika Komunikasi, Jakarta, Pusat Penerbitan Universitas Terbuka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Definisi Public Relations

Public relations (PR) yang diterjemahkan bebas menjadi hubungan masyarakat (Humas), terdiri dari semua bentuk komunikasi yang terselenggara...